BAB I
PENDAHULUAN
Jual – beli merupakan aktivitas yang dilakukan manusia umumnya dalam berekonomi baik itu sebagai produsen ataupun konsumen, dalam islam istilah tersebut sering kita kenal dengan muamalah artinya semua aktivitas yang lebih banyak dilakukan dengan manusia lainnnya atau lebih bersifat dengan keduniawian, meskipun lebih bersifat keduniawian kita tidak boleh menyimpang dari aturan Allah, sebab semua aktivitas manusia kelak akan dimintai pertanggung jawabannya. Begitu pula dalam hal jual – beli.
Dalam bertransaksi ( jual – beli ) di semua kegiatan berekonomi tentunya tidak akan terlepas dari sebuah penawaran, baik yang dilakukan oleh penjual atau pembeli, dalam islam disebut dengan istilah khiyar artinya tawar – menawar / hak pilih. Pada makalah ini penyusun akan mencoba membahas mengenai pengertian khiyar, hukum, macam-macam khiyar berikut hikmahnya.
Selain aktivitas jual beli yang sering kita lakukan, masalah kerjasama atas tanah pertanian pun menjadi persoalan pelik yang sering manusia hadapi. Karena kita tahu bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan bantuan orang lain. Terlebih di daerah pedesaan yang penduduknya sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani maupun buruh tani / penggarap. Oleh karena itu, pada makalah yang sangat padat ini pula akan dibahas mengenai Musaqah ( bentuk kerjasama pemilik kebun dengan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga memberika hasil yang maksimal ), Muzara’ah (kerjasama di bidang pertanian antara pemilik tanah dengan petani penggarap dan bibit yang akan ditanam dari pemilik tanah ), sedang dalam Mukhabarah bibit disediakan oleh penggarap tanah.
Penyusun berharap agar para pembaca makalah ini tidak merasa puas dengan tulisan ini, akan tetapi harus lebih memacu semangat untuk lebih menggali kebenaran yang hakiki dengan menggunakan referensi yang lebih banyak lagi, agar kita semua mempunyai pedoman dalam beraktivitas dengan manusia lainnya sesuai dengan ajaran Allah dan Rasulnya. Aamin.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. KHIYAR
1. Pengertian dan hukum Khiyar
Kata al-Khiyar dalam bahasa Arab berarti pilihan. Pembahasan al-Khiyar dikemukakan para ulama fiqh dalam permasalahan yang menyangkut transaksi dalam bidang perdata khususnya transaksi ekonomi, sebagai salah satu hak bagi kedua belah pihak yang melakukan transaksi (akad) ketika terjadi beberapa persoalan dalam transaksi dimaksud.
Secara terminologis para ulama fiqh mendefinisikan al-Khiyar dengan :
“Hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi.”
Pengertian khiyar yang lain:
“suatu keadaan yang menyebabkan aqid (orang yang akad ) memiliki hak untuk memutuskan akadnya yakni menjadikan atau membatalkannya jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, khiyar aib, khiyar ru’yah atau hendaklah memilih diantara dua barang jika khiyar ta;yin.”( Al – Juhaili. 1989 : 250.).
“suatu keadaan yang menyebabkan aqid (orang yang akad ) memiliki hak untuk memutuskan akadnya yakni menjadikan atau membatalkannya jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, khiyar aib, khiyar ru’yah atau hendaklah memilih diantara dua barang jika khiyar ta;yin.”( Al – Juhaili. 1989 : 250.).
Sedangkan menurut Rasyid (2002:206) dan Munir (1992:219) Khiyar artinya “Boleh memilih antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkan ( menarik kembali, tidak jadi jual beli)”.
Tujuan diadakan khiyar oleh syara’ berfungsi agar kedua orang yang berjual beli / melakukan transaksi dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari karena merasa tertipu. Status khiyar menurut ulama fiqh, adalah disyari’atkan atau dibolehkan karena suatu keperluan yang mendesak dalam mempertimbangkan kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
2. Macam-macam dan hikmah khiyarMacam-macam Khiyar di antaranya:
· Khiyar Majlis, yaitu hak pilih dari kedua belah pihak yang berakad untuk membatalkan akad, selama keduanya masih berada dalam majlis akad (toko) dan belum berpisah badan. Artinya, suatu transaksi baru dianggap sah apabila kedua belah pihak yang melaksanakan akad telah berpisah badan atau salah seorang di antara mereka telah melakukan pilihan untuk menjual dan atau membeli.
Dasar hukum adanya khiyar majlis ini adalah sabda Rasulullah SAW. yang berbunyi:
“Apabila dua orang melakukan akad jual beli, maka masing-masing pihak mempunyai hak pilih, selama keduanya belum berpisah badan…(HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah ibn ‘Umar).
Para pakar hadits menyatakan bahwa yang dimaksudkan Rasulullah SAW. dengan kalimat “berpisah badan” adalah setelah melakukan akad jual beli, barang diserahkan kepada pembeli dan harga barang diserahkan kepada penjual. Imam an- Nawawi, muhadits dan pakar fiqh Syafi’i, mengatakan bahwa untuk menyatakan penjual dan pembeli telah berpisah badan, seluruhnya diserahkan sepenuhnya kepada kebiasaan masyarakat setempat di mana jual beli itu berlangsung. Dan khiyar Majlis tidak habis lantaran penjual atau pembeli meninggal dunia, tapi khiyarnya berpindah kepada ahli waris yang bersangkutan.
- Khiyar ‘Aib, yaitu hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual beli bagi kedua belah pihak yang berakad apabila terdapat suatu cacat pada obyek yang diperjualbelikan, dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya ketika akad berlangsung.
Dasar hukum khiyar ‘Aib ini tertuang dalam sabda Rasulullah SAW. yang berbunyi:
“Sesama muslim itu bersaudara; tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada muslim lain, padahal pada barang terdapat ‘aib/cacat.”(HR. Ibn Majah dari ‘Uqbah ibn ‘Amir).
Khiyar ‘Aib ini menurut kesepakatan ulama fiqh, berlaku sejak diketahuinya cacat pada barang yang dijualbelikan dan dapat diwarisi oleh ahli waris pemilik hak khiyar.
- Khiyar Ru’yah, yaitu hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau batal jual beli yang ia lakukan terhadap suatu obyek yang belum ia lihat ketika akad berlangsung. Jumhur ulama fiqh, yang terdiri atas ulama Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, dan Zahiriyah menyatakan bahwa khiyar Ru’yah disyari’atkan dalam islam berdasarkan sabda Rasulullah SAW. yang mengatakan:
“Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila ia telah melihat barang itu. (HR. ad-Daruqutni dari Abu Hurairah).
Khiyar Ru’yah menurut mereka mulai berlaku sejak pembeli melihat barang yang akan dibeli. Akan tetapi ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa jual beli barang yang ghaib tidak sah, baik barang itu disebutkan sifatnya waktu akad maupun tidak. Oleh sebab itu, menurut mereka khiyar ru’yah tidak berlaku, karena akad itu mengandung unsur penipuan yang dapat membawa perselisihan. Hadits Rasulullah menyatakan:
“Rasulullah SAW. melarang jual beli yang mengandung penipuan.” (HR. al-Jama’ah [mayoritas pakar hadits], kecuali al-Bukhari).
- Khiyar Syarat, yaitu hak pilih yang dijadikan syarat oleh keduanya (pembeli dan penjual), atau salah satu dari keduanya sewaktu terjadi akad untuk meneruskan atau membatalkan akadnya itu, agar dipertimbangkan setelah sekian hari / tenggang waktu yangditentukan. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW. sebagai berikut:
“Apabila seseorang membeli suatu barang, maka katakanlah (pada penjual): Jangan ada tipuan! Dan saya berhak memilih dalam tiga hari.”(HR. al-Bukhari dan Muslim dari Umar).
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa khiyar Syarat ini dibolehkan dengan tujuan untuk memelihara hak-hak pembeli dari unsur penipuan yang mungkin terjadi dari pihak penjual. Adapun tenggang waktu dalam khiyar syarat menurut jumhur ulama fiqh harus jelas. Apabila tenggang waktu khiyar tidak jelas atau bersifat selamanya, maka khiyar tidak sah. Menurut ulama Malikiyah, tenggang waktu dalam khiyar syarat boleh bersifat mutlak, tanpa ditentukan waktunya.
- Khiyar Ta’yin, yaitu hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda kualitas dalam jual beli.
Hikmah Khiyar di antaranya:
- Membuat akad jual beli berlangsung menurut prinsip-prinsip Islam, yaitu kerelaan dan ridha antara penjual dan pembeli.
- Mendidik masyarakat agar berhati-hati dalam melakukan akad jual beli, sehingga pembeli mendapatkan barang dagangan yang baik, sepadan pula dengan harga yang dibayar.
- Penjual tidak semena-mena menjual barangnya kepada pembeli, dan mendidiknya agar bersikap jujur dalam menjelaskan keadaan barangnya.
- Terhindar dari unsur-unsur penipuan dari kedua belah pihak, karena ada kehati-hatian dalam proses jual beli.
- Khiyar dapat memelihara hubungan baik antar sesama. Sedangkan ketidakjujuran atau kecurangan pada akhirnya akan berakibat penyesalan yang mengarah pada kemarahan, permusuhan, dendam dan akibat buruk lainnya.
B. MUSAQAH
1. Pengertian dan hukum Musaqah
Secara etimologi, musaqah berarti transaksi dalam pengairan yang oleh penduduk Madinah disebut dengan al-mu’amalah. Secara terminologis fiqh, musaqah didefinisikan oleh para ulama fiqh dengan:
“Penyerahan sebidang kebun pada petani untuk digarap dan dirawat dengan ketentuan bahwa petani mendapatkan bagian dari hasil kebun itu.”
Ulama Syafi’iyah mendefinisikannya dengan:
“Mempekerjakan petani penggarap untuk menggarap kurma atau pohon anggur saja dengan cara mengairi dan merawatnya dan hasil kurma atau anggur itu dibagi bersama antara pemilik dengan petani penggarap.”
Dengan demikian, akad musaqah adalah sebuah bentuk kerjasama pemilik kebun dengan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal.
Jumhur ulama fiqh, termasuk Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani, keduanya tokoh fiqh Hanafi, berpendirian bahwa akad musaqah dibolehkan yang bersumber dari sebuah hadits dari ‘Abdullah ibn ‘Umar yang menyatakan:
“Bahwa Rasulullah SAW. melakukan kerjasama perkebunan dengan penduduk Khaibar dengan ketentuan bahwa mereka mendapatkan sebagian dari hasil kebun atau pertanian itu.”(HR. al-Jama’ah [mayoritas pakar hadits]).
2. Rukun dan syarat Musaqah
Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa yang menjadi rukun dalam akad musaqah adalah ijab dari pemilik tanah perkebunan dan qabul dari petani penggarap, dan pekerjaan dari pihak petani penggarap. Sedangkan jumhur ulama yang terdiri dari ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendirian bahwa transaksi musaqah harus memenuhi lima rukun, yaitu:
- Dua orang/pihak yang melakukan transaksi ;
- Tanah yang dijadikan obyek musaqah;
- Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap;
- Ketentuan mengenai pembagian hasil musaqah; dan
- Shigat (ungkapan) ijab dan qabul.
Adapun syarat –syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun adalah:
1. Kedua belah pihak yang melakukan transaksi musaqah harus orang yang cakap bertindak hukum, yakni dewasa (akil baligh), dan berakal.
2. Obyek musaqah itu harus terdiri atas pepohonan yang mempunyai buah.
3. Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad berlangsung untuk digarapi, tanpa campur tangan pemilik tanah.
4. Hasil (buah) yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka bersama, sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, baik dibagi dua, dibagi tiga, dan sebagainya.
5. Lamanya perjanjian itu harus jelas.
Adapun hikmah Musaqah di antaranya:
- Dapat terpenuhinya kemakmuran yang merata.
- Terciptanya saling memberi manfaat antara kedua belah pihak (si pemilik tanah dan petani penggarap).
- Bagi pemilik tanah merasa terbantu karena kebunnya dapat terawat dan menghasilkan.
- Disamping itu kesuburan tanahnya juga dapat dipertahankan.
C. MUZARA’AH
1. Pengertian dan hukum Muzara’ah
Secara etimologi muzara’ah berarti kerjasama di bidang pertanian antara pemilik tanah dengan petani penggarap. Sedangkan dalam terminologi fiqh terdapat beberapa definisi muzara’ah yang dikemukakan ulama fiqh.
Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan:
“ Perserikatan dalam pertanian.”
Menurut Hanabilah adalah:
“Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua.”
Imam Syafi’i mendefinisikan dengan:
“Pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah.”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah.
Imam Abu Hanifah dan Zufar ibn Huzail berpendapat bahwa akad muzara’ah tidak boleh. Menurut mereka, akad muzara’ah dengan bagi hasil, seperti seperempat dan seperdua, hukumnya batal. Mereka berdalil dari hadits riwayat Sabit ibn adh-Dhahhak, yaitu:
“Rasulullah melarang melakukan al-muzara’ah”. (HR. Muslim).
Obyek akad dalam al-muzara’ah dinilai memiliki dimensi spekulatif belum dan tidak jelas kadarnya, karena yang dijadikan imbalan untuk petani adalah hasil panen yang belum ada (ma’dum) dan tidak jelas (jahalah) ukurannya, sehingga keuntungan yang akan dibagikan tidak jelas. Boleh jadi panen gagal dan si petani tidak mendapat apa-apa dari garapannya, sehingga akad ini berpotensi untuk terjadinya kerugian, kedzaliman yang bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam. Mereka membantah dalil yang melegitimasi keabsahan akad al-muzara’ah dari para ulama Malikiyah dengan mengatakan bahwa perbuatan Rasulullah Saw dengan penduduk Khaibar, bukanlah al-muzara’ah, melainkan al-kharraj al-muqasamah, yaitu ketentuan pajak yang harus dibayarkan kepada Rasulullah Saw setiap kali panen dalam prosentase tertentu.
Sedangkan ulama Malikiyah dan Hanabilah akad muzara’ah diperbolehkan dan termasuk ke dalam firman Allah dalam surat al-Maidah,5:2 yang berbunyi:
“Bertolong-tolonglah kamu atas kebajikan dan ketaqwaan dan jangan bertolong-tolongan atas dosa dan permusuhan….”
Menurut mereka akad ini bertujuan untuk saling membantu antara petani dengan pemilik tanah pertanian. Hal yang wajar jika mereka membagi hasilnya sesuai dengan kesepakatan bersama.
2. Rukun dan syarat Muzara’ah
Adapun Rukun Muzara’ah Menurut jumhur ulama ada empat, yaitu:
1. Pemilik tanah ;
2. Petani/Penggarap;
3. Obyek al- muzara’ah (mahalul ‘aqdi)
4. Ijab dan qabul, keduanya secara lisan,
Adapun syarat-Syarat Muzara’ah yang berkaitan dengan orang yang berakad (pemilik dan petani), yaitu:
1) Berakal;
2) Baligh.
Sebagian ulama Hanafiyah mensyaratkan bahwa salah satu atau keduanya (penggarap dan pemilik ) bukan orang murtad, karena tindakan orang murtad dianggap mauquf, tidak punya efek hukum hingga ia masuk Islam. tetapi jumhur ulama sepakat bahwa aqad muzara’ah ini boleh dilakukan antara Muslim dan non Muslim termasuk didalamnya orang murtad.
Adapun benih yang akan ditanam disyaratkan harus jelas, apa yang akan ditanam-sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu. Sedangkan syarat yang menyangkut tanah pertanian adalah:
1. Menurut adat di kalangan petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan, jika tidak potensial untuk ditanami karena tandus dan kering, maka muzara’ah dianggap tidak sah;
2. Batas-batas tanah itu jelas;
3. Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap, apa bila pada waktu akad disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut serta menggarap, maka akad muzara’ah ini dianggap tidak sah.
Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen adalah :
1. Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas;
2. Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa ada unsur dari luar;
3. Pembagian hasil panen itu ditentukan pada awal akad untuk menghindari perselisihan nantinya.
Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan as-Syaibani mengatakan bahwa bila ditinjau dari sudut sah tidaknya akad muzaraa’ah, maka ada empat bentuk muzaraa’ah yaitu:
1. Apabila tanah dan bibit dari pemilik tanah, sedangkan kerja dan alat dari petani, sehingga yang menjadi objek adalah jasa petani, maka akad muzara’ah dianggap sah;
2. Apabila pemilik tanah hanya menyediakan tanah, sedangkan petani menyediakan bibit, alat dan kerja, sehingga yang menjadi obyek muzara’ah adalah manfa’at tanah, maka akad muzara’ah dianggap sah.
3. Apabila tanah, alat dan bibit dari pemilik tanah dan kerja dari petani, sehingga yang menjadi obyek muzara’ah adalah jasa petani, maka akad muzaraa’ah juga sah;
4. Apabila tanah dan alat disediakan pemilik tanah dan bibit, serta kerja dari petani, maka akad ini tidak sah.
1) Berakal;
2) Baligh.
Sebagian ulama Hanafiyah mensyaratkan bahwa salah satu atau keduanya (penggarap dan pemilik ) bukan orang murtad, karena tindakan orang murtad dianggap mauquf, tidak punya efek hukum hingga ia masuk Islam. tetapi jumhur ulama sepakat bahwa aqad muzara’ah ini boleh dilakukan antara Muslim dan non Muslim termasuk didalamnya orang murtad.
Adapun benih yang akan ditanam disyaratkan harus jelas, apa yang akan ditanam-sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu. Sedangkan syarat yang menyangkut tanah pertanian adalah:
1. Menurut adat di kalangan petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan, jika tidak potensial untuk ditanami karena tandus dan kering, maka muzara’ah dianggap tidak sah;
2. Batas-batas tanah itu jelas;
3. Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap, apa bila pada waktu akad disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut serta menggarap, maka akad muzara’ah ini dianggap tidak sah.
Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen adalah :
1. Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas;
2. Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa ada unsur dari luar;
3. Pembagian hasil panen itu ditentukan pada awal akad untuk menghindari perselisihan nantinya.
Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan as-Syaibani mengatakan bahwa bila ditinjau dari sudut sah tidaknya akad muzaraa’ah, maka ada empat bentuk muzaraa’ah yaitu:
1. Apabila tanah dan bibit dari pemilik tanah, sedangkan kerja dan alat dari petani, sehingga yang menjadi objek adalah jasa petani, maka akad muzara’ah dianggap sah;
2. Apabila pemilik tanah hanya menyediakan tanah, sedangkan petani menyediakan bibit, alat dan kerja, sehingga yang menjadi obyek muzara’ah adalah manfa’at tanah, maka akad muzara’ah dianggap sah.
3. Apabila tanah, alat dan bibit dari pemilik tanah dan kerja dari petani, sehingga yang menjadi obyek muzara’ah adalah jasa petani, maka akad muzaraa’ah juga sah;
4. Apabila tanah dan alat disediakan pemilik tanah dan bibit, serta kerja dari petani, maka akad ini tidak sah.
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad al Hasan, menentukan alat pertanian dari pemilik tanah membuat akad ini jadi rusak, karena alat pertanian tidak boleh mengikut pada tanah. Karena manfaat alat pertanian itu tidak sejenis dengan manfaat tanah, karena tanah untuk menghasilkan tumbuhan, sedangkan manfaat alat adalah untuk hanya untuk menggarap tanah. Alat pertanian bagi mereka harus mengikuti petani penggarap bukan kepada pemilik tanah.
3. Zakat dan hikmah Muzara’ah Pada prinsipnya zakat dibebankan kepada orang yang mampu, hasil pertanian telah mencapai batas nishab. Jika dilihat asal benih tanaman, maka dalam MUZARA’AH yang wajib zakat adalah pemilik tanah, karena dialah yang menanam, sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja.
Hikmah Muzara’ah antara lain:
a. Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani penggarap.
b. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
c. Tertanggulanginya kemiskinan.
d. Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki
kemampuan bertani tetapi tidak memiliki tanah garapan.
D. MUKHABARAH
1. Pengertian dan hukum Mukhabarah
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan. Dengan adanya praktek mukahbarah sangat menguntungkan kedua belah pihak. Baik pihak pemilik sawah atau ladang maupun pihak penggarap tanah. Pemilik tanah lahannya dapat digarap, sedangkan petani dapat meningkatkan tarap hidupnya.
Akad mukhabarah diperbolehkan, berdasarkan hadits Nabi saw,yang artinya: “Sesungguhnya Nabi telah menyerahkan tanah kepada penduduk Khaibar agar ditanami dan diperlihara, dengan perjanjian bahwa mereka akan diberi sebagian hasilnya.”(HR Muslim dari Ibnu Umar ra.)2. Rukun dan syarat Mukhabarah
Adapun Rukun Mukhabarah Menurut jumhur ulama ada empat, yaitu:
1. Pemilik tanah ;
2. Petani/Penggarap;
3. Obyek mukhabarah
4. Ijab dan qabul, keduanya secara lisan.
1. Pemilik tanah ;
2. Petani/Penggarap;
3. Obyek mukhabarah
4. Ijab dan qabul, keduanya secara lisan.
Ada beberapa syarat dalam mukhabarah, diantaranya :
1. Pemilik kebun dan penggarap harus orang yang baligh dan berakal.
2. Benih yang akan ditanam harusjelas dan menghasilkan.
3. Lahan merupakan lahan yang menghasilkan,jelas batas batasnya,dan diserahkan sepenuhnya kepada penggarap.
4. Pembagian untuk masing-masing harus jelas penentuannya.
5. Jangka waktu harus jelas menurut kebiasaan.
Dalam MUKHABARAH, yang wajib zakat adalah penggarap (petani), karena dialah hakikatnya yang menanam, sedangkan pemilik tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya. Jika benih berasal dari kdeuanya, maka zakat diwajibkan kepada keduanya jika sudah mencapai nishab, sebelum pendapatan dibagi dua.
Adapun hikmah Mukhabarah antara lain:
a. Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani penggarap.
b. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
c. Tertanggulanginya kemiskinan.
d. Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani tetapi tidak memiliki tanah garapan.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
v Khiyar adalah hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
v Ada beberapa macam khiyar, yaitu: khiyar majlis, khiyar ta’yin, khiyar syarat, khiyar ‘aib, dan khiyar ru’yah.
v Musaqah adalah sebuah bentuk kerjasama pemilik kebun dengan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal.
v Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah.
v Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar