4 April 2011

makalah ‘AMAR, NAHI, TAKHIR, ’AM DAN KHAS

                

A.PENDAHULUAN

     Syari’at yang dating kepada kita dsanya ialah Al-Qur’an. Kemudian Qur’an itu di jelaskan oleh 
Nabi Muhammad SAW baik dengan kata-kata maupun dengan perbuatanya.
     Sahabat-sahabat Nabi dan para tabi’in  sempurna pengetahuanya tentang bahasa Qur’an, bahasa Arab, 
dan mengetahui pula sebab-sebab turunya, rahasia-rahasia syri’at dan tujuannya.
Pengetahuan ini di sebabkan karena pergaulan mereka dengan Nabi s.a.w di samping kecerdasan
mereka sendiri. Karena itu, merka tidak memerlukan peraturan-peraturan dalam mengambil hukum (istmbat), 
sebagaimana mereka tidak membutuhkan qaidah-qaidah untuk mengetahui bahasa mereka sendiri
(Bahasa Arab).
     Sesudah islam meluas dan bangsa Arab bergaul dengan bangsa-bangsa lain, para ulama-ulama 
tersebar di berbagai negri-negri yang baru, disamping itu banyak peristiwa-peristiwa baru yamg timbul 
segala masalah kehidupan,maka timbulah pemikiran-pemikiran untuk membuat peraturan-peraturan baru 
dalam ijtihad dan pengambilan hukum, agar dengan peraturan-peraturan ini dapat diperoleh pendapat 
yang benar dan dapat diperdetkaan jarak perbedaan-perbedaan pendapat tersebut.

 B.PEMBAHASAN

  1. ‘AMR (SURUHAN)

   TA’RIF
     ‘Amr adalah tuntutan perbuatan dari orang yang lebih tinggi tingkatnya kepada orang yang lebih rendah 
tingkatnya.

    POKOK ARTI ‘AMR
A.    Menujukkan wajib

    ”Arti yang pokok dalam ‘amr, ialah menunjukkan wajib (wajibnya perbuatan yang di perintahkan)”.
Alasanya adalah:

     “Apa yang mencegahmu kamu (iblis) sehingga tidak sujud, tatkala Aku perintahkan kamu”.
(Al-a’raf:12)
Dalam firman ALLAH inibukan di maksudkan bertanya (minta penjelasan tetapi menyatakan pencelaan terhadap iblis, karena tidak mau sujud tanpa halangan, sesudah iblis di perintah sujud sebagaimana apa yang di terangkan dalam firman yang lain yaitu:

    ”Sujudlah kamu sekalian (malaikat) kepada Adam, kemudian mereka sama sujud, kecali iblis”.
(Al-baqarah:34).
Bentuk perintah (amr)tersebut yaitu perkataan usjudu (bersujudlah) dengan tidak di ertai qarinah, 
menujukkan kemestian (keharusan). Kalau tidak demikian, tentulah ALLAH tidak mencela iblis, 
karena pendurkahaan itu.

     “kalau tiodak memberatkan bagi umatku, tentulah aku perintahkan mereka bersiwak pada 
tiap-tiap (hendak) shalat. (al-hadits)

   Hadits tersebut menujukkan, bahwa karena adanya musyakat (kesukaran), maka tidak ada siwak. 
Padahal sudah di sepakati Ulama, bahwa siwak tetap di sunnahkan (dianjurkan=nadb). Disini nadb 
bukan arti yang pokok, tetapi hanyalah karena adanya qarinah, musyakat.
Berhubungan dengan itu dapat di simpulkan bahwa sesuatu suruhan yang tidak ad qarinahnya, menunjukkan kemestian. (wajib).
B.  Menunjukkan anjuran

   “Arti yang pokok dalam amr adalah menunjukkan anjuran (nadb)”.
  Alasanya adalah: Suruha itu adakalanya untuknkeharusan (wajib), seperti shalat lima waktu. Antara 
kemestian dan anjuran, yang paling di yakini ialah anjuran, sebab mengingat pada mulanya sejak 
di lahirkan, manusia itu beb eas dari tuntutan (beban) baru dating kemudian.
Keterangan: Pendapat yang kedua ini lemah, karena itu yang sesuai adalah pendapat yang pertama.

MACAM-MACAM ARTI ‘AMR
  Bentuk ‘amr kadang-kadang keluar dari makna asli dan di gunakkan untuk makna yang bermacam-macam 
yang dapat di ketahui dari susunan perkataan.
  1. NADB

    “Berikan kemerdekaan (mukatabah) kepada budak-budak, bila kamu mengetahui bajikan”. 
(An-Nur:33)
  1. IRSYAD

   “Apabila kamu berpiutang hingga masa (ganjil) yang di tetapkan, hendaklah kamu tuliskan 
dan Persaksikanlah piutang itu dengan dua orang saksi laki-laki”. (Al-baqarah:282)
  1. DO’A

   “Wahai tuhan kami ! berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat”. (Al-baqarah:201).
     4.  ILTIMAS

    “Berhentilah dulu, mari kita menangis karena teringat kekasih rumah di Siqtilliwa antara 
Dakhul dan Haumal”. (Syair ummul qais).
5.  TAMANNI (berangan-angan)
6.  TAKHIR (menyuruh memilih)
7.  TASWIYAH (mempersamakan)
8.  TA’JIZ (melemahkan)
9.   TAHDID (ancaman)
10. IBADAH
   Keterangan: Perbedaan antara Nadb dan Irsyad, ialah kalau nadb untuk mencari pahala sendiri, 
sedang irsyad untuk kepentingan-kepentingan duniawi.
Perbedaan antara Do’a dan Iltimas, kalau do’a adalah permintaan dari orang yang lebih rendah 
tingkatanya. Iltimas adalah permintaan dari seseorang kepada sesame tingkatanya.

         11.  NAHI (LARANGAN)
  TA’RIF
  Dari segi Nahi artinya “Larangan” (man’un). Akal juga di sebut nuhyah, karena ia dapat mencegah orang 
yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.
Nahyun menurut syara’, ialah tuntutan untukn meninggalkan perbuatan dari orang yang lebih tinggi
tingkatanya kepada orang yang lebih rendah tingkatanya.
Bentuk Nahi hanya satu saja, yaitu fi’il mudhori’ yang disertai laa nahi.
  ARTI NAHI YANG POKOK
1.      Menunjukkan harram

    “bermula larangan itu menunjukkan haram (haramnya perbuatan yang di larang”.
Alasanya:
  Apabila ada kata-kata larangan yang tidak disertai qarinah, akal kita dapat mengerti keharusan yang
diminta larangan itu. Apa yang segera dimengerti menunjukkan arti yang sebenarnya. Demikian pula 
mengenai pemahaman ulama salaf, apabila ada larangan yang tidak adisertai qarinah.
  Qarinah ialah kata-kata yang menyertai kata-kata larangan, yang menyebabkan larangan itu tidak
menunjukkan haram.tidak disertai qarinah,
2.      Menunjukkan makruh.

   “Bermula larangan menunjukkan makruh (makruhnya perbuatan yang dilarang).”
Alasanya:
   Larangan itu hanya menunjukkan buruknya (tidak baiknya) perbuatan yang di larang. Keburukan ini
tidak berarti haram. Lagi pula larangan itu adakalanya menunjukkan haram, adakalanya menunjukkan 
karahah. Antara keduanya, yang paling diyakini, ialah karahah. Sebab pada mulanya semua perbuatan 
boleh diperbuat. Yang lebih kuat uialah pendapat no.1.
   MACAM-MACAM ARTI NAHI
  Bentuk nahi kadang-kadang digunakan untuk beberapa arti (ma’na) yang bukan asli yang dapat diketahui 
dari susunan perkataan.
  1. Makhruh
  2. Do’a
  3. Iltimas
  4. Irsyad
  5. Tahdid (ancaman)
  6. Ta’is (memutuskan asakan)
  7. Taubikh (menegur)
  8. Tamanni (berangan-angan)

111.    TAKHYIR (                   )

    Takhyir menurut etimologi (bahasa) berarti pilihan / memilih. Sedangkan  Takhyir menurut istilah 
adalah : Pilihan dari ALLAH SWT untuk memberikan kebebasan kepada orang mukallaf (ballig) untuk 
mengerjakan atau meninggalkannya seperti makan, minum dan pekerjaan lain yang bisa dikerjakan 
manusia pada waktu tertentu, dimana ALLAH SWT memeng memerintahkan perbuatan-perbuatan tersebut. 
Hanya saja tidak memberikan waktunya.
Adapun orang yang melakukannya disebut : Mukhayyar (                ) contoh ada dalam bahasan yaitu: 
wajib mukhayyar yaitu suatu kewajiban yang hanya tidak hanya mempunyai satu macam tuntunan, 
tetapi mempunyai dua atau tiga alternative yang dapat di pilih takhyir (             ). Contoh kewajiban 
alternative kedua ial

     Artinya: Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka tawanlah mereka, dan sesudah itu 
kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti. (Q.S.Muhammad:4).
Contoh lagi kewajiban yang diperbolehkan untuk memilih (            ) antara tiga alternative adalah masalh 
kaffarat sumpah. Bagi yang melanggar sumpah ia membayar kiffarat dengan memerdekakan hamba shaya, 
memberi 30 orang fakir-miskin atau memberi pakaian kepada mereka. Sedangkan bagi yang tidak mampu 
diwajibkan mengerjakan puasa 3 hari, sesuai dengan firman ALLAH SWT:

     Artinya: ALLAH tidak akan menghukum kaum disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi DIA menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu 
sengaja. Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu memberi makan seorang miskin, yaitu Dari
makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau 
memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan demikian, maka kaffaratnya 
puas selama tiga hari. (Q.S. Al-Ma’idah:89)

      IV.  ‘AM (         )

          ‘AM (       ) Menurut etimologi (bahasa) berarti umum atau yang umum. Sedangkan  ‘Am menurut istilah ialah: lafadz yang menunjukkan pada jumlah yang banyak dan satuan yang termasuk dalam pengertian satu makna yang berlaku. Adapun yang dimaksud dengan satu makna yang berlaku ialah lafadz itu bukan musytarok, yaitu mengandung arti lain yang bisa menggantikan makna tersebut. Lafadz menunjukkan arti banyak dengan menggunakan satu ungkapan dan dalam keadaan yang sama. Sementara golongan Hanafiah berpendapat bahwa lafadz ‘am ialah suatu lafadz-lafadz yang mencakup arti keseluruhan, baik dengan menggunakan lafadz seperti rijal (       ) atau menunjukkan isim mausul yang artinya jamak atau isim syarat atau qoum dan jin atau insu lainya yang berarti jamak. Dan pengertian lafadz ‘am tergolong qot’i (          ).  Seperti firman ALLAH :

    “Orang-orang yang meninggal dunia (wafat) diantarmu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya
9beribadah) empat bulan sepuluh hari” (Q.S. Al-Baqarah:234).
  Ayat tersebut meliputi seluruh perempuan yang ditinggal mati suaminya, hendaklah beribadah dalam waktu yang ditentukan, kecuali ada yang khusus, baik sudah dicampuri maupun belum. Firman ALLAH SWT:

    “Dan perempuan yang putus dari haid diantara perempuan-perempuan jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya) maka ‘iddah mereka 3 bulan, dan begitu pula perempuan yang tidak hid” 
.( Q.S.At-Thalaq:4).
   Maksud ‘iddah perempuan-perempuan yang tidak haid, baik orang tua atau anak-anak baik disebabkan thalaq atau fasak setelah dicampuri. Sedangkan pengertian qoth’I yang di tetapkan dari lafadz ‘am (     ) menurut Hanafiah ialah bila dalam lafadz-lafadz tersebut tidak terdapat kemungkinan-kemungkinan lain yang timbul karena adanya takhsis secara muthlaq, baik ada dalil atau tidak.
   Untuk lebih jelasnya golongan Hanafiah memberikan syarat, hendaknya tidak terdapat takhsis, maka lafadz itiu jadi zhanny (        ).
   Menurut golongan Maliki, Syafi’i dn Hambali, berpendapat bahwa lafadz ‘am tidak dapat menunjukkan semua cakupanya secara qoth’I, tetapi beralasan dari segi lahiriyah lafadz ‘am itu terdapat kemungkinan dan ini banyak terjadi untuk di takhsis.

    V.  KHASH (          )

      Khash menurut etimologi (bahasa) berarti khusus atau yang khusus. Sedangkan khash menurut istilah ialah: lafadz yang menunjukkan pada jumlah yang khusus atau tertentu yang termasuk dalam pengertiab khusus atau tertentu. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa mayoritas ulama telah sepakat bahwa lafadz ‘am itu menunjukkan kepada setiap satuan yang dicakupnya. Dan lafadz ‘am yang dapat di takhsis dan yang tidak dapat di takhsis juga harus ada dalilk yang menunjukkan bahwa ia benar-benar di takhsish dan yang mentakhsish (             ).
   Golongan Hanafi berpendapat bahwa yang bisa mentakhsish ‘am adalah lafadz yang berdiri sendiri bersaman dalam zaman serta mempunyai kekuatan yang sama dilihat dari segi Qoth’i (          ).atau zhannynya (           ). Firman ALLAH:

    Lafadz ‘am ini telah di takhsish dengan sabda Nabi:

    Artinya : Seorang perempuan yang tidak dikawini bersamaan dengan bibi dari bapaknya atau bibi dari ibunya, dan pula keponakan dari saudaranya atau keponakkan dari saudaranya. Sebab jika kamu berbuat itu berarti kamu telah memutuskan familimu.
  Hadits ini masyur, sebagai contoh yang mentakhsish keumuman Al-qur’an yang Qoth’i (           ) dan apabila keumuman Al-qur’an itu sudah di takhsish lebih dahulu, maka boleh lagi di takhsish dengan semua dalil sekalipun zhanny sifat. Dengan demikian maka jelaslah bahwa syarat-syarat mentakhsis yang ‘am (     ) ada 3 :
a.       Harus berdiri sendiri
b.      Harus bersamaan dengan masa (muwassa)
c.        Harus sama derajatnya dengan yang ‘am (       ) apakah zhanny (        ) atau Qath’i (        )
   Adapun contoh ‘am yang di takhsish adalah firman ALLAH tentang ahli waris:

    Ayat ini memakai lafadz ‘am yang di takhsish dengan dalil lafadz yang berdiri sendiri dan bersamaan dengan masa itu, yaitu Nabi :

   Artinya : “Si pembunuh itu tidak berhak mendapat harta warisanya”.
  Dan di takhsish lagi dengan sabda lain :

   Artinya : “Orang-orang yang berlainan agama tidak berhak memperoleh harta warisan”.
 Contoh lain :




   Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah (jilidlah) tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya untuk mencegah kamu menjalankan agama ALLAH”. (Q.S. An-nur :2).
  Ayat tersebut ksusus kepada orang merdeka, yang di takhsis dengan firman ALLAH Surat An-nisa ayat 25 :

 C.    KESIMPULAN

         Demikianlah dari uraian masalah pengertian ‘AMR (   ), NAHI(    ), TAKHYIR(       ), ‘AM (   ) dan KHASH (       ) tersebut diatas yang dalam pengertianya mengandung hukum baik bagi para mukallaf khususnya dan umumnya bagi yng memakai pnertian tersebut diatas. Definisi ‘AMR, NAHI, TAKHYIR, ‘AM  dan KHASH banyak contoh dan pembahasanya yang dalam pembahasan ini hanya sekedar pengertu\ian atau definisi dasar dalam mempelajari ilmu ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya serta ilmu pengetahuan yang ada hubungan erat dengan ilmu ushul fiqh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar