13 Desember 2011

KISAH NABI SULAIMAN DAN SEMUT


Ini adalah suatu kisah yang tejadi pada zaman Nabi Sulaiman. Sudah tidak asing bagi kita bahwa sulaiman dan bala tentaranya pernah melewati sebuah lembah, di lembah itu ada sekawanan semut yang sedang beraktifitas sesuai tugas masing-masing. Semut-semut  yang bertugas membangun sarang, dengan giat membangun sarang, ada yang mengangkut material, ada yang menempelkan material satu dengan material lain sampai berbentuk sarang. Semut-semut yang bertugas mengumpulkan makanan tanpa kenal lelah mengangkut makanan di pundaknya untuk dikumpulkan dalam sarang. Begitu juga semut-semut prajurit, dengan penuh waspada dan cermat mengawasi tiap jengkal  wilayah tersebut dari berbagai gangguan yang mungkin saja muncul tiba-tiba.
Sebelum sampai di lembah tersebut, seekor semut penjaga sudah melihat iring-iringan sulaiman dan bala tentaranya yang akan lewat. Ia langsung melapor pada pimpinannya bahwa sulaiman dan bala tentaranya akan melewati lembah ini. Ia gambarkan juga kepada pimpinannya bagaimana besar iring-iringan yang akan segera tiba, juga kemungkinan kehancuran yang akan terjadi pada sekawanan semut ini. Mendapati laporan salah seekor prajuritnya, pimpinan semutpun langsung mengumumkan kepada para semut untuk segera menyingkir, menyelamatkan diri dari sulaiman dan bala tentaranya. Sebab jika tidak, para semut akan habis terinjak-injak oleh sulaiman dan bala tentaranya.
Salah satu kelebihan nabi sulaiman adalah mengerti bahasa binatang, maka ketika pemimpin semut tadi memerintahkan para semut untuk menyingkir, Sulaiman dan bala tentaranya yang pada saat itu sudah berada sangat dengan mereka langsung memberikan komando kepada pasukannya untuk berhenti. Sulaiman tersenyum seraya berkata : “Tuhanku tetapkanlah aku untuk selalu bersyukur atas nikmatmu dan selalu melakukan perbuatan yang engkau ridhoi”
Nabi Sulaiman bersyukur karena dianugrahi kemampuan mengerti bahasa binatang oleh Allah. Ia juga bersyukur karena dengan kemampuan itu ia tidak sampai menginjak-injak dan membinasakan sekawanan semut. Rasa syukurnya itu diwujudkan salah satunta dengan melakukan hal-hal baik yang diridhoi oleh Allah.
Inilah suatu kisah tentang Nabi Sulaiman dengan semut yang dapat kita ambil hikmahnya. Mohon maaf apabila sebagian kisah ini sudah sedikit penulis dramatisasi yang mungkin saja salah. Tapi bagaimanapun, inti kisah ini terdapat dalm quran surat an-Nahl. Tentu saja dimasukkannya kisah ini dalam quran memiliki arti penting bagi manusia untuk dipelajari hikmahnya.
 

12 Desember 2011

GURU HONOR VS GURU PNS


Guru sebagai ujung tombak dunia pendidikan mempunyai peran yang sangat penting dan tanggung jawab yang sangat berat. Salah satu perannya adalah menjadi salah satu kunci keberhasilan seseorang dalam membentuk karakternya dalam kehidupan di masa depan. Peran ini pula yang juga memberikan tanggung jawab melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya.
Namun, seiring dengan pentingnya peran dan beratnya tanggung jawab yang diembannya, tidak berbanding lurus atau berbanding terballik dengan apa yang diterimanya. Memang, tidak semua guru mendewa-dewakan imbalan dalam melaksanakan tugas. Sangat banyak guru yang rela mengajar dengan gaji atau upah ala kadarnya, mereka inilah para guru yang mengedepankan keikhlasan dalam mendidik para peserta didiknya meskipun tidak kalah banyak juga guru yang mengajar semata-mata karena materi.
Memang, di zaman sekarang, di saat semuanya harus dicapai dengan materi, rasanya sulit hidup bermodalkan keikhlasan. Semua harus dibeli dengan uang, tidak dengan keihlasan. Hal inilah yang sering menjadi dilema bagi para guru yang memiliki niat dan tekad untuk mengajar ihlas karena Allah. Mereka sering menemui kesulitan keuangan untuk memenuhi segala kebutuhan hidup.
Pemerintah dalam hal ini kemdiknas dan kemenag yang menaungi lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, bukan tidak tanggap menyikapi keadaan ini. Pemerintah sudah cukup tanggap melalui pengangkatan guru menjadi Pegawai Negri Sipil (PNS) dan dalam beberapa tahun terakhir pemberian sertifikat guru profesional  (Sertifikasi) kepada guru yang betul-betul dianggap kompeten di bidangnya bagi guru PNS maupun non-PNS.
Sejatinya Fasilitas ini menjadi semacam jaminan bagi kehidupan guru yang mendapatkannya dan bisa meningkatkan kinerjanya, sebab guru yang bersangkutan tidak lagi harus dipusingkan dengan sulitnya memenuhi kebutuhan hidup sehingga bisa lebih fokus dalam melaksanakan perannya sebagai seorang guru dan melaksanaka tanggungjawabnya.
Tapi disisi lain, terlepas dari keterbatasan pemerintah dalam melaksanakan program ini, masih banyak guru yang belum tersentuh. Masih lebih banyak guru yang berstatus non-PNS dan belum bersertifikat. Mereka masih mengandalkan gaji dari yayasan yang secara nominal jauh lebih kecil dibandingkan guru PNS atau guru bersertifikat. Suatu jurang pemisah yang harus segera dicarikan jalan keluarnya.

9 Desember 2011

makna segala puji bagi Allah


الحمد لله رب العالمين
Al-hamdu lillaahi rabbil ‘alamin
“Segala puji bagi Allah Tuhan Seru sekalian Alam”
Ayat ini tentu sangat tidak asing bagi umat islam, karena sangat sering diucapkan sehari-hari.
Terlepas dari nilai-nilai pengamalannya, ayat ini paling tidak dibaca sebanyak 17 kali dalam sehari semalam oleh muslim yang melaksanakan sholat. Ayat ini merupakan ayat pertama dari surat al-fatihah, surat yag menjadi penentu sah-tidaknya shalat seseorang. Selain itu, setiap selesai melakukan sesuatu atau merasa gembira karena mendapatkan sesuatu, ayat inipun biasa menjadi ucapan pertama dari lidah seseorang. Maka tidaklah salah kalau penulis menganggap ayat ini ayat yang sudah sangat akrab di lidah setiap muslim. Tidak hanya itu, non muslimpun banyak yang tidak sungkan mengucapkan ayat ini.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa semua pujian hanya miik Allah, dan kita tahu bahwa sesuatu yang dipuji adalah sesuatu yang baik dan orang yang memuji tentu setuju dengan kebaikan itu. Pujian-pujian yang menjadi milik Allah adalah sebagai berikut :
1.      حمد الخالق للخالق  (pujian Allah untuk Allah)
2.      حمد الخالق للمخلوق  (pujian Allah untuk Allah)
3.      حمد المخلوق للخالق  (pujian Allah untuk Allah)
4.      حمد اللمخلوق للمخلوق  (pujian Allah untuk Allah)

12 November 2011

PENGERTIAN, RUANG LINGKUP, TUJUAN DAN MAFAAT MEMPELAJARI PERBANDINGAN MAZHAB



PENGERTIAN, RUANG LINGKUP, TUJUAN DAN MAFAAT MEMPELAJARI PERBANDINGAN MAZHAB

A.    PENGERTIAN
Perbandingan mazhab atau dalam bahasa Arab disebut muqaranah al-mazahib berasal dari dua sub kata, yaitu kata  muqaranah  dan  mazahib.  Secara etimologi  muqaranah seperti dalam kamus munjid karangan Luis Ma’luf adalah berasal dari kata : قارن – يقارن – مقارنة   yang artinya mengumpulkan, membandingkan antara dua perkara atau lebih. [1]
Berdasarkan makna lughowi diatas, maka perbandingan mazhab menurut ulama fiqh adalah :
الفقه المقارن : جمع آراء الأئمة المجتهدين مع أدلتها فى المسالة الواحدة المختلف فيها. ومقابلة هذه الأدلة بعضها مع بعض ليظهر بعد مناقشتها أي الأقوال أقوى دليلا
“Mengumpulkan pendapat paa imam mujtahidin berikut dalil-dalilnya tentang suatu masalah yang diperselisihkan, dan kemudian membandingkan serta mendiskusikan dalil-dalil tersebut satu sama lainnya untuk menemukan yang terkuat dalilnya.”[2]
Sedangkan pengetian mazhab secara etimologi berasal dari kata :
ذهب – يذهب – ذهبا - مذهبا  dengan bentuk jamaknya مذاهب yang berarti المعتقد االطريقة artinya aliran atau paham yang diikuti/dianut.[3]
            Sedangkan dalam Ensiklopedia Islam mazhab diartikan sebagai pendapat, kelompok atau aliran yang bermula dari pemikiran atau ijtihad seorang imam dalam memahami sesuatu baik filsafat, hukum fiqh, teologi dan sebagainya. Pemikiran ini kemudian diikuti oleh kelompok atau pengkutnya dan dikembangkan mennjadi suatu aliran sekte atau ajaran.[4]
            Adapula yang mengartikan mazhab sebagai tempat berjalan, aliran. Dalam istilah Islam berarti pendapat, faham atau aliran seroang alim  besar dalam Islam yang disebut imam seperti mazhab syafi’I, mazhab Maliki dan lain sebagainya.[5]
            Dari pengertian-pengertian diatas mengenai arti muqaran maupun mazhab itu sendiri baik secara etimologi maupun secara terminologi, tentunya kita bias memahami bahwa yang dimaksud dengan perbandingan mazhab atau  muqaranah al-mazahib  adalah membandingkan, mempertemukan serta mendiskusikan pendapat atau pandangan mazhab-mazhab terhadap suatu masalah, dengan mengadakan seleksi atau perbandingan terhadap dalil-dalil yang mereka gunakan serta cara beristimbath atas dalil tersebut dengan segala argumentasinya.

B.     RUANG LINGKUP
Mazhab-mazhab yang telah tumbuh dan berkembang yang menjadi pegangan masyarakat, ternyata memiliki metode atau cara-cara yang berbeda satu sama lain dalam melakukan istimbat hukum.[6]
Perbedaan tersebut berkisar pada perbedaan pola piker para imam mazhab, serta sistematika sumber hyang digunakan, juga latar belakang imam tersebut yang kemudian berimplikasi pada berbedanya produk hukum yang dihasilkan. Perbedaan tersebut disebabkan perbedaan pemahaman terhadap nash dan karakteristiknya.
Daerah atau tempat imam itu tinggal juga menjadi sebab mendasar terjadinya ikhtilaf pada dalil-dalil dan masalah yang sama, sehingga itu juga menjadi bahasan yang menarik dalam perbandingan mazhab ini.
Bidang kajian perbandingan mazhab ialah seluruh masalah fiqh yang didalamnya terdapat dua pendapat atau lebih. Sedangkan masalah-masalah fiqh yang terjadi ijma’ atau ittifa, maka masalah tersebut tidak termasuk dalam kajjian perbandingan mazhab.[7]
Secara eksplisit dapat kami kemukakan bahwa ruang lingkup pembahasan perbandingan mazhab meliputi hal-hal sebagai berikut :
1.    Dalil-dalil yang dijadikan dasar oleh para mujtahid, baik dari al-qur’an, alhadits atau dalil-dalil syara’ lainnya.
2.    Metode atau cara mereka berijtihad dan cara beristimbat dari sumber-sumber hukum yang mereka jadikan dasar dalam menetapkan hukum.
3.    Latar belakang para mujtahid itu sendiri, latar belakang timbulnya suatu mazhab dan perbedaan-perbedaan yang kemudian muncul di tengah-tengah mazhab yang ada.
4.    Pola pemikiran para imam mazhab, hal-hal yang mempengaruhinya seperti sisitematika sumber hukum, sistem istidlal masing-masing mazhab.
5.    Kondis sosiologis serta hukum-huum yang berlaku di tempat dimana para muqarin hidup.

C.    TUJUAN DAN MANFAAT MEMPELAJARI PERBANDINGAN MAZHAB
Barangkali pada sebagian orang masih ada yang beranggapan bahwa mempelajari berbagai mazhab dan perbedaan yang ada didalamnya adalah sesuatu yang tabu dan tidak ada gunanya, dengan asumsi bahwa perbandingan itu akan menggoyahkan pendirian seseorang dan boleh jadi nantinya seseorang akan selalu membanding-bandingkan hukum/dalil dan mencari yang mudah dengan berpindah-pindah mazhab.
Mempelajari perbandingan mazhab sangatlah luas manfaatnya sebab perbandingan yang dilakukan merupakan perbandingan lintas mazhab, tidak ada lagi keterikatan pada satu paham, netralitas benar-benar diuji dalam hal ini sehingga keputusan yang diambil benar-benar objektif berdasarkan kenyataan dan bukan rekayasa hukum.
Tujuan dari muqaranah atau perbandingan  bukanlah setelah kita membandingkan sebuah dalil atau hukum, lantas kita jadikan untuk saling melemahkan atau menjatuhkan pendapat satu dengan lainnya, karena fungsi perbandingan juga untuk mempererat atau mendekatkan mazhab-mazhab itu sendiri.
Diantara manfaat mempelajari ilmu muqaranah al-mazahib adalah sebagai berikut :
1.        Dapat mengetahui hukum agama dengan sempurna dan beramal dengan hukum yang didukung oleh dalil terkuat.
2.        Dapat mengetahui berbagai pendapat, baik dalam satu mazhab, ataupun mazhab-mazhab lain, baik pendapat itu disepakati atau diperselisihkan dan dapat mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan itu.
3.        Dapat mengetahui metode istibath dan cara penalaran ulama terdahulu dalam menggali hukum syara dari dalilnya yang terperinci
4.        Dapat mengetahui sebab khilaf atau letak perbedaan pendapat yang diperselisihkan
5.        dapat memperoleh pandangan yang luas tentang pendapat para imam dan dapat mentarjihkan mana yang terkuat.
6.        Dapat mendekatkan berbagai mazhab sehingga perpecahan umat dapat disatukan kembali, ataupun  jurang perbedaan dapat diperkecil sehingga ukhuwah islamiyah lebih terjalin.
7.        Dapat mengetahui betapa luasnya pembahsan ilmu fiqh
8.        Dapat menghilangkan kepician dalam mengamalkan syari’at islam, yang hanya terikat pada satu pendapat serta menyalahkan pendapat mazhab lain.
9.        Dapat menghilangkan sifat taqlid buta.


[1] Luis ma’luf, Al-Munjid, (Beirut : Daar Al-Masyriq, 1986), Cet ke-16, hal. 625
[2] Prof. KH. Abdul Wahab Alif MA., Pengantar Studi Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Daarul Ulum Press, 1995), Cet ke-2, hal. 9
[3] Luis ma’luf, Al-Munjid, (Beirut : Daar Al-Masyriq, 1986), Cet ke-16, hal. 240
[4] Ensikloedia Islam, (Jakarta : PT. Ihtiar Baru Van Hoeve, 1999) Cet ke-5, hal 214.
[5] M. Bahri Ghazali, Perbandingan Mazhab,  (Jakarta : 1992) Cet. Ke-1, hal 7
[6] Drs. Romli SA, M.Ag., Muqaranah MAzahib fi al-Usul (Jakarta : Gaya Media Pratama , 1999), Cet. Ke-1, hal. 12.
[7] M. Bahri Ghazali, Perbandingan Mazhab,  (Jakarta : 1992) Cet. Ke-1, hal 9

13 Agustus 2011

PEMIKIRAN FILSAFAT AL-FARABI


PEMIKIRAN FILSAFAT AL-FARABI

I.     PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, yang kepada-Nya kita menyembah dan memohon pertolongan. Shalawat serta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad Saw., beserta keluarga, shahabat dan seluruh pengikut beliau hingga akhir zaman.
Pada makalah ini insya Allah kami akan mencoba menjelaskan mengenai Filsafat Al-Farabi berikut pemikiran-pemikiran beliau seputar filsafat, serta tidak ketinggalan pula biografi beliau secara singkat agar menambah wawasan kita mengenai Al-Farabi.

II.  PEMBAHASAN
1.    Biografi Singkat  Farabi
Nama lengkap beliau adalah Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhn ibn Auzalagh. Dikalangan orang latin abad tengah ia lebih dikenal dengan Abu Nashr (Abunaser). Ia dilahirkan di Wasij, distrik farab sekarang lebih dikenal dengan kota Atrar, di daerah Turkistan  pada 257 H/870 M. ibunya berkebangsaan Turki, sementara  Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia.[1] Sejak kecil ia telah meninggalkan kota kelahirannya. Ia mengembara ke berbagai Negara hingga akhirnya tibalah ia ke kota Baghdat, pusat peradaban saat itu di sana ia memperdalam Filsafat selama dua puluh tahun Ia pernah mengajar dan mengulas beberapa buku-buku filsafat yunani, diantara anak muridnya yang terkenal adalah Yahya Ibn ‘Adi, seorang filosuf kristen.
Karena kepintaran dan kepakarannya dibidang Filsafat, ia diangkat menjadi seorang ulama istana pada saat pemerintahan Saif al-Daulah al-Hamdani sebuah dinasti Hamdan di Aleppo kota Damaskus. Dengan demikian ia mendapatkan tunjangan yang lumayan besar, namun ia lebih memilih hidup sederhana dengan empat dirham untuk memenuhi hidupnya dalam 1 hari, dan selebihnya ia sedekahkan kepada para fakir miskin di daerah Aleppo dan Damaskus, bahkan diriwayatkan ia sering kelihatan pada waktu malam sedang membaca dan mengarang dibawah sinar lampu penjaga malam.[2]
Hampir 10 tahun ia hanya berpindah-pindah dari dua kota itu, yang pada akhirnya hubungan dua kota itu semakin memburuk, alhasil membuat sultan  Saif ad-Daulah menyerbu kota Damaskus dan berhasil menaklukkanya, sementara Al-Farabi diikutsertakan dalam penyerbuan itu. Sampai akhirnya ia menutup mata selama-lamanya di kota itu dalam usia 80 tahun.

2.    Peran Al-Farabi Dalam Filsafat
Al-Farabi merupakan Filusuf yang pertama yang berhasil memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh seperti di dalam kitab karangannya yang berjudul Ihsha’u al-‘Ulum” yang memandang Filsafat secara utuh dan sempurna serta membahasnya secara mendetail[3]. ia juga sangat terkenal akan kepakarannya dalam hal filsafat Aristoteles sehingga ia dikenal dengan sebutan Mu’allim Tsani (Guru kedua).[4]
Dalam karyanya ini ia berhasil memadukan pemikiran Filsafat Plato dan Aristoteles. Dalam temuannya ini dikenal dengan istilah “Pemaduan Falsafah” (al-falsafah at-Taufiqiyyah) salah satu contohnya adalah teori simbol dan gaya bahasa. Dalam memahami pemikiran Plato dalam setiap karangannya maka akan menemukan kesulitan dalam memahaminya karena Plato lebih banyak menggunakan gaya bahasa yang sulit serta kiasan-kiasan yang sulit dimengerti.
Hal ini sungguh berbeda sekali dengan Aristoteles yang menggunakan gaya bahasa yang sistematis dan mudah difahami. Namun dalam beberapa hal terdapat juga pembahasan yang sulit dipahami seperti dalam hal akhlaq, ilmu fisika dan metafisika. Karena Aristoteles memang membatasi hal ini hanya untuk orang-orang tertentu saja. Dan Al-Farabi menetapkan bahwa hakekatnya kedua Filosuf ini (Plato dan Aristoteles) membatasi Filsafat hanya untuk orang-orang tertentu saja. Tidak untuk semua orang.[5]Alfarabi berkesimpulaan bahwa Aristoteles dan Plato memiliki tujuan yang sama yakni mencari sebuah kebenaran,

3.    Pemikiran Al-Farabi Dalam Filsafat
Dalam membahas pemikiran Al-Farabi ini kami membagi pemikirannya menjadi beberapa segi diantaranya, metafisika, akhlaq, jiwa dan lain sebagainya.
a.  Metafisika
Pembahasan mengenai Metafisika ini al-Farabi memulai bahasan mengenai masalah wujud Allah. Al-Farabi mengemukakan dalil dalam falsafah yang dikenal dengan dalil (Ontologi) : Dalil yang berpijak pada konsep wajib dan Mungkin.[6] Menurut Al-Farabi wujud ada dua macam :
-       Mumkin Wujud, adanya wujud yang nyata karena ada yang lainnya. Seperti wujud cahaya yang tidak akan ada, kalau sekiranya tidak ada matahari.
-       Wajibul Wujud Lidzatihi, adanya wujud yang nyata dengan terjadi dengan sendirinya. Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujudnya. Ia adalah sebab yang pertama bagi semua wujud.[7]

Kata al-Farabi untuk mengetahui Tuhan dapat dibuktikan dengan adanya bukti dari teori gerak. Semua yang terdapat dialam semesta selalu bergerak yang pada gilirannya bermuara pada satu hal yang pasti, yaitu adanya sesuatu yang  tidak bergerak tetapi bertindak sebagai penggerak.[8]
Kemudian pada masalah lainya seperti zat Tuhan, Bagi Al-Farabi tuhan adalah aql murni, Ia esa adanya dan yang menjadi objek pemikirannya hanya substansi-Nya. Jadi tuhan adalah ’aql, ‘aqil, dan ma’qul (akal, substansi yang berfikir dan substansi yang difikirkan).[9]
Tuhan yang digambarkan oleh Al-Farabi adalah tuhan yang jauh dari makhluq-Nya, dan ia tidak dicapai kecuali dengan jalan renungan dan amalan serta pengalaman-pengalaman tasawuf.
Kemudian mengenai penciptaan alam semesta, Al-Farabi yang ingin menyelaraskan filsafat Yunani dengan Islam sehingga cendrung menggunakan teori Emanasi yang diusung Platonisme, menurutnya tuhan menciptakan sesuatu dengan bahan yang sudah ada secara pancaran. Pancaran (emanasi) alam dari tuhan terjadi sebagai akibat aktivitas tuhan memikirkan (berta’aqul terhadap) diri-Nya. Perbedaan teori Emanasi yang dianut Platonisme Yunani dengan Emanasi Al-Farabi terletak pada asal dari pancaran tersebut. Menurut filsafat Platonisme bahwa asal pancaran itu bukanlah tuhan, akan tetapi bagi filsafat yunani tuhan bukan pencipta alam, melainkan sebagai penggerak pertama (Prima Causa). Sementara Al-Farabi menyatakan bahwa asal dari pancaran tersebut adalah Tuhan (pencipta).[10]

b. Jiwa
Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, ia berasal dari alam Ilahi sementara jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar dan bergerak. Dalam jiwa manusia mempunyai daya gerak (makan, memelihara, berkembang), daya mengetahui (merasa, imaginasi), daya berfikir (akal praktis, akal teoritis) sementara daya teoritis (akal potensial, akal aktual, akal mustafad) Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membagi antara Jiwa Khalidah dan Jiwa Fana. Jiwa khalidah adalah jiwa yang mendapatkan kebahagiaan, karena ia bisa melepaskan diri dari kenikmatan jasmani, ia tidak hancur karena hancurnya jasad. Yang termasuk kelompok ini adalah akal mustafad. Sementara jiwa fana tidak sempurna, ia akan hancur seiring hancurnya jasad. Ia akan kekal, tapi dalam kesengsaraan.[11]

c. Politik
Dalam pemikiran politiknya, Al-Farabi banyak terpengaruh pemikiran Platonisme disamping ia selaraskan dengan Islam.
Dalam pembahasannya mengenai Negara, Al-Farabi menyamakan Negara sama dengan Manusia, yakni seperti yang difahami bahwa Manusia memiliki organ-organ tubuh yang saling bekerja dengan baik.[12] Misalnya tangan dengan otak manusia,yang tangan diperintah oleh otak, demikian pula terkadang otak juga diatur oleh Hati yang memiliki perasaan yang mempertimbangkan baik atau buruknya. Menurutnya bahwa yang paling terpenting dari Negara adalah pemimpinnya. Oleh karena itu agar Negara menjadi baik dan maju hendaklah yang menjadi pemimpinnya adalah paling unggul baik dalam bidang intelektual maupun moralnya.[13]

d.  Akhlaq
Dalam hal ini Al-Farabi menjelaskan bahwa akhlaq itu bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan yang merupakan tujuan tertinggi yang dirindui, maka wajar kalau masalah akhlaq adalah sesuatu yang paling banyak ditulis oleh Al-Farabi dalam berbagai kitabnya.
Dalam kitab Risalah al-Tanbih ‘ala subul al-Sa’adah dan Tahshil al-Sa’adah Al-Farabi menekankan ada empat jenis sifat utama yang harus dimiliki oleh setiap orang, untuk mendapatkan kebahagiaan didunia dan diakhirat :
(1)    Keutamaan Teoritis, prinsip-prinsip pengetahuan yang kita dapat  sejak awal tanpa kita tahu cara dan asalnya. Juga termasuk dengan kontemplasi, penelitian, juga melalui belajar mengajar.
(2)    Keutamaan Pemikiran, adalah yang memungkinkan orang mengetahui hal-hal bermanfaat dalam tujuan.
(3)    Keutamaan Akhlaq, bertujuan untuk mencari kebaikan, dan ini menjadi syarat keutamaan pemikiran.
(4)    Keutamaan Amaliah, dapat diperoleh dengan dua cara, pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan merangsang atau dengan cara lain yaitu dengan pemaksaan.

  e. Teori Kenabian
Karena pada masa Al-Farabi pemikiran yang berkembang mengenai kenabian adalah menolak akan kenabian seperti pemikiran Ahmad ibn ishaq al-Ruwandi dan  Zakaria al-Razi, yang menolak akan eksistensi Kenabian
Maka Al-Farabi yang memiliki pemikiran yang berbeda yakni menerima eksistensi kenabian membuat Al-Farabi mencoba melawan pemikiran tersebut. Meskipun Al-Farabi dikenal sebagai seorang yang rasionalis namun hal itu bukan berarti ia menolak eksistensi wahyu Tuhan dan Kenabian.
Menurutnya Adanya Nabi dan Rasul yang diutus kedunia, bahwa pada umat manusia, akal dan potensi jiwa mereka terdapat perbedaan keunggulan dalam aktualitas dalam menangkap informasi secara utuh dan lengkap. Seperti kenyataan bahwa ada orang yang unggul dari orang lain. Dengan demikian  tidak mustahil bahwa ada orang yang hatinya mampu menerima wahyu, sementara orang lain tidak sanggup.[14]

III.   PENUTUP/KESIMPULAN
Demikianlah pembahasan mengenai Al-Farabi dalam setiap tokoh sudah menjadi hal yang lumrah bahwa manusia memiliki kekurangan dan kelebihan. Terkadang bertindak atau berperilaku benar dan juga salah. Dalam berfikir juga demikian salah dan benar memang tidak aneh lagi jika menimpa seseorang. Karena manusia memang tidak terlepas dari salah dan lupa. Apalagi dalam masalah filsafat. Lebih tidak aneh lagi kalau seorang Filosuf berfikir salah, atau nyeleneh. Untuk itu dalam pemikiran Al-Farabi ini tentunya berlaku hukum tersebut yaitu ada yang salah dan ada pula yang benar.



[1] Hasyimsyah Nasution, “Filsafat Islam”, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, Cet. III,  Hal. 32

[2] Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Arraniry, “Filsafat Islam” ,Hal. 35
[3]Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Arraniry, “Filsafat Islam” ,Hal. 35
[4] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, Cet. VI, Hal. 82
[5] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, Cet. VI,. 42-43
[6] Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Arraniry, “Filsafat Islam” , Hal. 45
[7] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, Cet. VI, Hal.90
[8] Amroeni Drajat, “Filsafat Islam Buat Yang Pingin Tahu,”, Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2006, Hal. 32
[9] Hasyimsyah Nasution, “Filsafat Islam”, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, Cet. III, Hal. 36
[10] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, Cet. VI, Hal. 91
[11] Hasyimsyah Nasution, “Filsafat Islam”, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, Cet. III, Hal. 40
[12] Harun Nasution, Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Pt. Bulan Bintang, 1999, Cet X, Hal. 26
[13] Hasyimsyah Nasution, “Filsafat Islam”, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, Cet. III, Hal. 41
[14] Hasyimsyah Nasution, “Filsafat Islam”, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, Cet. III, Hal. 43-74