4 April 2011

makalah ‘AMAR, NAHI, TAKHIR, ’AM DAN KHAS

                

A.PENDAHULUAN

     Syari’at yang dating kepada kita dsanya ialah Al-Qur’an. Kemudian Qur’an itu di jelaskan oleh 
Nabi Muhammad SAW baik dengan kata-kata maupun dengan perbuatanya.
     Sahabat-sahabat Nabi dan para tabi’in  sempurna pengetahuanya tentang bahasa Qur’an, bahasa Arab, 
dan mengetahui pula sebab-sebab turunya, rahasia-rahasia syri’at dan tujuannya.
Pengetahuan ini di sebabkan karena pergaulan mereka dengan Nabi s.a.w di samping kecerdasan
mereka sendiri. Karena itu, merka tidak memerlukan peraturan-peraturan dalam mengambil hukum (istmbat), 
sebagaimana mereka tidak membutuhkan qaidah-qaidah untuk mengetahui bahasa mereka sendiri
(Bahasa Arab).
     Sesudah islam meluas dan bangsa Arab bergaul dengan bangsa-bangsa lain, para ulama-ulama 
tersebar di berbagai negri-negri yang baru, disamping itu banyak peristiwa-peristiwa baru yamg timbul 
segala masalah kehidupan,maka timbulah pemikiran-pemikiran untuk membuat peraturan-peraturan baru 
dalam ijtihad dan pengambilan hukum, agar dengan peraturan-peraturan ini dapat diperoleh pendapat 
yang benar dan dapat diperdetkaan jarak perbedaan-perbedaan pendapat tersebut.

 B.PEMBAHASAN

  1. ‘AMR (SURUHAN)

   TA’RIF
     ‘Amr adalah tuntutan perbuatan dari orang yang lebih tinggi tingkatnya kepada orang yang lebih rendah 
tingkatnya.

    POKOK ARTI ‘AMR
A.    Menujukkan wajib

    ”Arti yang pokok dalam ‘amr, ialah menunjukkan wajib (wajibnya perbuatan yang di perintahkan)”.
Alasanya adalah:

     “Apa yang mencegahmu kamu (iblis) sehingga tidak sujud, tatkala Aku perintahkan kamu”.
(Al-a’raf:12)
Dalam firman ALLAH inibukan di maksudkan bertanya (minta penjelasan tetapi menyatakan pencelaan terhadap iblis, karena tidak mau sujud tanpa halangan, sesudah iblis di perintah sujud sebagaimana apa yang di terangkan dalam firman yang lain yaitu:

    ”Sujudlah kamu sekalian (malaikat) kepada Adam, kemudian mereka sama sujud, kecali iblis”.
(Al-baqarah:34).
Bentuk perintah (amr)tersebut yaitu perkataan usjudu (bersujudlah) dengan tidak di ertai qarinah, 
menujukkan kemestian (keharusan). Kalau tidak demikian, tentulah ALLAH tidak mencela iblis, 
karena pendurkahaan itu.

     “kalau tiodak memberatkan bagi umatku, tentulah aku perintahkan mereka bersiwak pada 
tiap-tiap (hendak) shalat. (al-hadits)

   Hadits tersebut menujukkan, bahwa karena adanya musyakat (kesukaran), maka tidak ada siwak. 
Padahal sudah di sepakati Ulama, bahwa siwak tetap di sunnahkan (dianjurkan=nadb). Disini nadb 
bukan arti yang pokok, tetapi hanyalah karena adanya qarinah, musyakat.
Berhubungan dengan itu dapat di simpulkan bahwa sesuatu suruhan yang tidak ad qarinahnya, menunjukkan kemestian. (wajib).
B.  Menunjukkan anjuran

   “Arti yang pokok dalam amr adalah menunjukkan anjuran (nadb)”.
  Alasanya adalah: Suruha itu adakalanya untuknkeharusan (wajib), seperti shalat lima waktu. Antara 
kemestian dan anjuran, yang paling di yakini ialah anjuran, sebab mengingat pada mulanya sejak 
di lahirkan, manusia itu beb eas dari tuntutan (beban) baru dating kemudian.
Keterangan: Pendapat yang kedua ini lemah, karena itu yang sesuai adalah pendapat yang pertama.

MACAM-MACAM ARTI ‘AMR
  Bentuk ‘amr kadang-kadang keluar dari makna asli dan di gunakkan untuk makna yang bermacam-macam 
yang dapat di ketahui dari susunan perkataan.
  1. NADB

    “Berikan kemerdekaan (mukatabah) kepada budak-budak, bila kamu mengetahui bajikan”. 
(An-Nur:33)
  1. IRSYAD

   “Apabila kamu berpiutang hingga masa (ganjil) yang di tetapkan, hendaklah kamu tuliskan 
dan Persaksikanlah piutang itu dengan dua orang saksi laki-laki”. (Al-baqarah:282)
  1. DO’A

   “Wahai tuhan kami ! berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat”. (Al-baqarah:201).
     4.  ILTIMAS

    “Berhentilah dulu, mari kita menangis karena teringat kekasih rumah di Siqtilliwa antara 
Dakhul dan Haumal”. (Syair ummul qais).
5.  TAMANNI (berangan-angan)
6.  TAKHIR (menyuruh memilih)
7.  TASWIYAH (mempersamakan)
8.  TA’JIZ (melemahkan)
9.   TAHDID (ancaman)
10. IBADAH
   Keterangan: Perbedaan antara Nadb dan Irsyad, ialah kalau nadb untuk mencari pahala sendiri, 
sedang irsyad untuk kepentingan-kepentingan duniawi.
Perbedaan antara Do’a dan Iltimas, kalau do’a adalah permintaan dari orang yang lebih rendah 
tingkatanya. Iltimas adalah permintaan dari seseorang kepada sesame tingkatanya.

         11.  NAHI (LARANGAN)
  TA’RIF
  Dari segi Nahi artinya “Larangan” (man’un). Akal juga di sebut nuhyah, karena ia dapat mencegah orang 
yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.
Nahyun menurut syara’, ialah tuntutan untukn meninggalkan perbuatan dari orang yang lebih tinggi
tingkatanya kepada orang yang lebih rendah tingkatanya.
Bentuk Nahi hanya satu saja, yaitu fi’il mudhori’ yang disertai laa nahi.
  ARTI NAHI YANG POKOK
1.      Menunjukkan harram

    “bermula larangan itu menunjukkan haram (haramnya perbuatan yang di larang”.
Alasanya:
  Apabila ada kata-kata larangan yang tidak disertai qarinah, akal kita dapat mengerti keharusan yang
diminta larangan itu. Apa yang segera dimengerti menunjukkan arti yang sebenarnya. Demikian pula 
mengenai pemahaman ulama salaf, apabila ada larangan yang tidak adisertai qarinah.
  Qarinah ialah kata-kata yang menyertai kata-kata larangan, yang menyebabkan larangan itu tidak
menunjukkan haram.tidak disertai qarinah,
2.      Menunjukkan makruh.

   “Bermula larangan menunjukkan makruh (makruhnya perbuatan yang dilarang).”
Alasanya:
   Larangan itu hanya menunjukkan buruknya (tidak baiknya) perbuatan yang di larang. Keburukan ini
tidak berarti haram. Lagi pula larangan itu adakalanya menunjukkan haram, adakalanya menunjukkan 
karahah. Antara keduanya, yang paling diyakini, ialah karahah. Sebab pada mulanya semua perbuatan 
boleh diperbuat. Yang lebih kuat uialah pendapat no.1.
   MACAM-MACAM ARTI NAHI
  Bentuk nahi kadang-kadang digunakan untuk beberapa arti (ma’na) yang bukan asli yang dapat diketahui 
dari susunan perkataan.
  1. Makhruh
  2. Do’a
  3. Iltimas
  4. Irsyad
  5. Tahdid (ancaman)
  6. Ta’is (memutuskan asakan)
  7. Taubikh (menegur)
  8. Tamanni (berangan-angan)

111.    TAKHYIR (                   )

    Takhyir menurut etimologi (bahasa) berarti pilihan / memilih. Sedangkan  Takhyir menurut istilah 
adalah : Pilihan dari ALLAH SWT untuk memberikan kebebasan kepada orang mukallaf (ballig) untuk 
mengerjakan atau meninggalkannya seperti makan, minum dan pekerjaan lain yang bisa dikerjakan 
manusia pada waktu tertentu, dimana ALLAH SWT memeng memerintahkan perbuatan-perbuatan tersebut. 
Hanya saja tidak memberikan waktunya.
Adapun orang yang melakukannya disebut : Mukhayyar (                ) contoh ada dalam bahasan yaitu: 
wajib mukhayyar yaitu suatu kewajiban yang hanya tidak hanya mempunyai satu macam tuntunan, 
tetapi mempunyai dua atau tiga alternative yang dapat di pilih takhyir (             ). Contoh kewajiban 
alternative kedua ial

     Artinya: Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka tawanlah mereka, dan sesudah itu 
kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti. (Q.S.Muhammad:4).
Contoh lagi kewajiban yang diperbolehkan untuk memilih (            ) antara tiga alternative adalah masalh 
kaffarat sumpah. Bagi yang melanggar sumpah ia membayar kiffarat dengan memerdekakan hamba shaya, 
memberi 30 orang fakir-miskin atau memberi pakaian kepada mereka. Sedangkan bagi yang tidak mampu 
diwajibkan mengerjakan puasa 3 hari, sesuai dengan firman ALLAH SWT:

     Artinya: ALLAH tidak akan menghukum kaum disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi DIA menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu 
sengaja. Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu memberi makan seorang miskin, yaitu Dari
makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau 
memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan demikian, maka kaffaratnya 
puas selama tiga hari. (Q.S. Al-Ma’idah:89)

      IV.  ‘AM (         )

          ‘AM (       ) Menurut etimologi (bahasa) berarti umum atau yang umum. Sedangkan  ‘Am menurut istilah ialah: lafadz yang menunjukkan pada jumlah yang banyak dan satuan yang termasuk dalam pengertian satu makna yang berlaku. Adapun yang dimaksud dengan satu makna yang berlaku ialah lafadz itu bukan musytarok, yaitu mengandung arti lain yang bisa menggantikan makna tersebut. Lafadz menunjukkan arti banyak dengan menggunakan satu ungkapan dan dalam keadaan yang sama. Sementara golongan Hanafiah berpendapat bahwa lafadz ‘am ialah suatu lafadz-lafadz yang mencakup arti keseluruhan, baik dengan menggunakan lafadz seperti rijal (       ) atau menunjukkan isim mausul yang artinya jamak atau isim syarat atau qoum dan jin atau insu lainya yang berarti jamak. Dan pengertian lafadz ‘am tergolong qot’i (          ).  Seperti firman ALLAH :

    “Orang-orang yang meninggal dunia (wafat) diantarmu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya
9beribadah) empat bulan sepuluh hari” (Q.S. Al-Baqarah:234).
  Ayat tersebut meliputi seluruh perempuan yang ditinggal mati suaminya, hendaklah beribadah dalam waktu yang ditentukan, kecuali ada yang khusus, baik sudah dicampuri maupun belum. Firman ALLAH SWT:

    “Dan perempuan yang putus dari haid diantara perempuan-perempuan jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya) maka ‘iddah mereka 3 bulan, dan begitu pula perempuan yang tidak hid” 
.( Q.S.At-Thalaq:4).
   Maksud ‘iddah perempuan-perempuan yang tidak haid, baik orang tua atau anak-anak baik disebabkan thalaq atau fasak setelah dicampuri. Sedangkan pengertian qoth’I yang di tetapkan dari lafadz ‘am (     ) menurut Hanafiah ialah bila dalam lafadz-lafadz tersebut tidak terdapat kemungkinan-kemungkinan lain yang timbul karena adanya takhsis secara muthlaq, baik ada dalil atau tidak.
   Untuk lebih jelasnya golongan Hanafiah memberikan syarat, hendaknya tidak terdapat takhsis, maka lafadz itiu jadi zhanny (        ).
   Menurut golongan Maliki, Syafi’i dn Hambali, berpendapat bahwa lafadz ‘am tidak dapat menunjukkan semua cakupanya secara qoth’I, tetapi beralasan dari segi lahiriyah lafadz ‘am itu terdapat kemungkinan dan ini banyak terjadi untuk di takhsis.

    V.  KHASH (          )

      Khash menurut etimologi (bahasa) berarti khusus atau yang khusus. Sedangkan khash menurut istilah ialah: lafadz yang menunjukkan pada jumlah yang khusus atau tertentu yang termasuk dalam pengertiab khusus atau tertentu. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa mayoritas ulama telah sepakat bahwa lafadz ‘am itu menunjukkan kepada setiap satuan yang dicakupnya. Dan lafadz ‘am yang dapat di takhsis dan yang tidak dapat di takhsis juga harus ada dalilk yang menunjukkan bahwa ia benar-benar di takhsish dan yang mentakhsish (             ).
   Golongan Hanafi berpendapat bahwa yang bisa mentakhsish ‘am adalah lafadz yang berdiri sendiri bersaman dalam zaman serta mempunyai kekuatan yang sama dilihat dari segi Qoth’i (          ).atau zhannynya (           ). Firman ALLAH:

    Lafadz ‘am ini telah di takhsish dengan sabda Nabi:

    Artinya : Seorang perempuan yang tidak dikawini bersamaan dengan bibi dari bapaknya atau bibi dari ibunya, dan pula keponakan dari saudaranya atau keponakkan dari saudaranya. Sebab jika kamu berbuat itu berarti kamu telah memutuskan familimu.
  Hadits ini masyur, sebagai contoh yang mentakhsish keumuman Al-qur’an yang Qoth’i (           ) dan apabila keumuman Al-qur’an itu sudah di takhsish lebih dahulu, maka boleh lagi di takhsish dengan semua dalil sekalipun zhanny sifat. Dengan demikian maka jelaslah bahwa syarat-syarat mentakhsis yang ‘am (     ) ada 3 :
a.       Harus berdiri sendiri
b.      Harus bersamaan dengan masa (muwassa)
c.        Harus sama derajatnya dengan yang ‘am (       ) apakah zhanny (        ) atau Qath’i (        )
   Adapun contoh ‘am yang di takhsish adalah firman ALLAH tentang ahli waris:

    Ayat ini memakai lafadz ‘am yang di takhsish dengan dalil lafadz yang berdiri sendiri dan bersamaan dengan masa itu, yaitu Nabi :

   Artinya : “Si pembunuh itu tidak berhak mendapat harta warisanya”.
  Dan di takhsish lagi dengan sabda lain :

   Artinya : “Orang-orang yang berlainan agama tidak berhak memperoleh harta warisan”.
 Contoh lain :




   Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah (jilidlah) tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya untuk mencegah kamu menjalankan agama ALLAH”. (Q.S. An-nur :2).
  Ayat tersebut ksusus kepada orang merdeka, yang di takhsis dengan firman ALLAH Surat An-nisa ayat 25 :

 C.    KESIMPULAN

         Demikianlah dari uraian masalah pengertian ‘AMR (   ), NAHI(    ), TAKHYIR(       ), ‘AM (   ) dan KHASH (       ) tersebut diatas yang dalam pengertianya mengandung hukum baik bagi para mukallaf khususnya dan umumnya bagi yng memakai pnertian tersebut diatas. Definisi ‘AMR, NAHI, TAKHYIR, ‘AM  dan KHASH banyak contoh dan pembahasanya yang dalam pembahasan ini hanya sekedar pengertu\ian atau definisi dasar dalam mempelajari ilmu ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya serta ilmu pengetahuan yang ada hubungan erat dengan ilmu ushul fiqh.

Azimah dan rukhsah

BAB I
PENDAHULUAN
            Ilmu fiqh yang merupakan panduan ubudiah para mukallaf selalu berhadapan dengan kondisi dimana seorang mukallaf berada dan situasi yang dihadapinya, dimana kondisi dan situasi tersebut dapat mempengaruhi kemampuannya dalam melaksanakan hal-hal yang menjadi kewajibannya terutama dalam hal ubudiah.
            Ilmu fiqh merupakan hasil dari pemikiran para ulama tentang pedoman pelaksanaan ubudiyah para mukallaf yang diatur berdasarkan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan yang baku yang kita kenal dengan istilah istimbath hukum. Terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan mereka,  istimbath hukum tersebut dilakukan berdasarkan aturan tertentu yang disebut dengan ushul fiqh.
            Mengenai situasi dan kondisi para mukallaf yang mendapatkan hambatan dalam melaksanakan kewajiban ubudiyahnya, baik hambatan itu berasal dari dirinya maupun luar dirinya, ushul fiqh mengatur konsep ketetapan dan keringanan yang dikenal dengan istilah Azimah dan rukhsoh. Makalah ini berusaha memaparkan secara singkat tentang azimah dan rukhsoh tersebut, tata laksananya menurut para ulama ushul.
BAB II
PEMBAHASAN
Azimah, Rukhshah, Ta’rif Dan Macamnya
Bentuk lain dari hukum Wadh’I adalah azimah (اﻠﻌﺯﻴﻤﻪ) dan rukhshah (ﺍﻠﺭﺨﺼﺔ). Dalam hal ini para ulama ushul fikih berbeda pendapat dalam menempatkannya sebagai hukum al-wadh’i. Ibn al-Hajib  dan Fakhruddin al-Razi berpendapat bahwa azimah dan rukhshah termasuk dalam objek hukum, bukan kepada hukum. Menurut mereka, suatu perbuatan yang boleh di laksanakan oleh para mukallaf, adakalanya berbentuk azimah dan  adakalanya berbentuk rukhshah.
Pendapat kedua dikemukakan oleh imam al-Gozali, al-Amidi Muhibullah ibn Abdul Syukur dan al-Syathibi, menurut mereka, azimah dan rukhshah termasuk hukum al-wadh’I, kaerna pada dasarnya seluruh hukum itu bersifat azimah dan status ini tidak berubah menjadi rukhshah kecuali ada penyebabnya. Penyebab tersebut, menurut mereka, adalah seperti keadaan darurat untuk membolehkan yang di haramkan, atau ada uzur yang menyebabkan keringanan dalam meninggalkan yang wajib atau untuk menghilangkan kesulitan bagi hamba. Demikian azimah dan rukhshah, lanjut mereka, termasuk hukumzwadh’i.
a.    Pengertian  Azimah
            Secara etimologi, azimah berarti tekad yang kuat. Pengertian seperti ini dijumpai dalam surat Ali-Imran, 3:159;
 “apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya”
.               Secara terminology, para ulama ushul fikh merumuskan nya dengan:
 Hukum-hukum yang disyari’atkan Allah kepada seluruh hambaNya sejak semula.
            Maksudnya, sejak semula Pensyari’atannya tidak berubah dan berlaku untuk seluruh umat, tempat dan masa tanpa kecuali.
            Seluruh hukum taklifi termasuk dalam azimah dan para mukalaf di tuntut untuk melaksanakannya dengan mengerahkan kemampuan untuk mencapai sasaran yang di kehendaki hukum tersebut. Berdasarkan usaha ini orang tersebut berhak mendapatkan ganjaran pahala dari Allah, jika hukum yang di kerjakannya itu termasuk dalam kategori wajib dan sunah.
            Menurut jumhur ulama, yang termasuk azimah, adalah kelima hukum taklif (Wajib, sunah, haram, makruh dan mubah), karena kelima hukum ini disyari’atkan bagi umat islam sejak semula. Akan tetapi, sebagian ulama berpendapat bahwa yang termasuk azimah itu hanya hukum wajib, sunah, makruh dan mubah. Ada juga ulama ushul fikh yang membatasinya dengan hukum wajib dan sunah saja, serta ada pula yang membatasi dengan wajib dan haram saja.  
b.        Macam-macam Azimah      
            Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa azimah ada empat macam, yaitu :
1.      Hukum yang disyariatkan sejak semula untuk kemashlahatan umat manusia seutuhnya, seperti ibadah, muamalah, jinayah dan seluruh hukum yang bertujuan untuk mencapai kebahagiaan umat di dunia dan di akhirat.
2.      Hukum yang disyariatkan karena adanya suatu sebab yang muncul, seperti hukum mencaci maki berhala atau sesembahan agama lain. Hal ini dilarang oleh Allah, karena orang yang menyembah berhala atau sesembahannya dicela akan berbalik mencela Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-An’am,6:108 :
      “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan…”
3.    Hukum yang disyariatkan sebagai pembatal (nasikh) bagi hukum sebelumnya, sehingga mansukh seakan – akan tidak pernah ada. Status nasikh dalam kasus seperti ini adalah azimah. Misalnya, firman Allah dalam persoalan pemalingan arah kiblat dalam surat Al-baqoroh, 2:144:
        “Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.”
                                Maksudnya ialah Nabi Muhammad s.a.w. sering melihat ke langit mendoa dan menunggu-nunggu turunnya wahyu yang memerintahkan beliau menghadap ke Baitullah.
4.   Hukum pengecualian dari hukum-hukum yang berlaku umum, seperti firman Allah dalam surat An-Nisa,4:24:
      “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki”
                         Dalam ayat ini Allah mengharamkan mengawini para wanita yang telah bersuami dengan lafaz yang bersifat umum, kemudian dikecualikan dengan wanita-wanita yang menjadi budak.
c.    Pengertian Rukhshah
Secara etimologi , rukhshoh (ﺍﻠﺭﺨﺼﺔ )berarti kemudahan, kelapangan dan kemurahan. Secara terminologis, Imam Al-Baidhawi merumuskannya dengan :
Hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil karena adanya uzur.
Rumusan ini menunjukan bahwa hukum rukhshah hanya berlaku apabila ada dalil yang menunjukan dan ada uzur yang menyebabkannya. Dengan demikian, hukum-hukum khusus yang sama sekali tidak berbeda dengan dalil-dalil syara’secara umum, tidak termasuk dalam kategori rukhshah. Kehalalan memanfaatkan yang dibolehkan syara’ tidaklah termasuk rukhshah tetapi tetap sebagai azimah.
Rukhshah yang ditetapkan berbeda dengan dalil disebabkan adanya uzur, berlaku dalam empat bentuk hukum syara’ yaitu ijab, nadb, karahah dan ibahah. Misalnya :
1.        Rukhshah terhadap yang wajib, yaitu memakan bangkai bagi orang yang dalam keadaan darurat. Hal ini wajib menurut jumhur ulama.
2.      Rukhshah bersifat mandub seperti mengqosor shalat bagi musafir. Menurut jumhur ulama fiqh, mengqosor shalat dalam perjalanan hukumnya mandub, tetapi menurut ulama hanafiyyah mengqosor shalat bagi musafir tidak termasuk rukhshah tetapi azimah.
3.      Rukhshah bersifat mubah bagi para dokter yang melihat aurat orang lain, laki-laki atau wanita, ketika berlangsungnya pengobatan. Melihat aurat orang lain pada dasarnya adalah haram, tetapi di bolehkan demi untuk menghilangkan kesulitan bagi umat manusia.
4.      Rukhshah bersifat makruh apabila seseorang yang karena terpaksa mengucapkan kalimat kufur (mengaku kufur) sedangkan hatinya tetap beriman. Mengaku kafir adalah haram bagi umat islam, karena hal itu menunjukan bahwa ia telah murtad, tetapi karena dipaksa dengan ancaman hukuman untuk mengucapkan kalimat kufur tersebut, semetara hatinya tetap beriman, maka dalam hal ini rukhshah, tetapi bersifat makruh.
Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa apabila dikatakan rukhshah maka pengertiannya bisa 3 macam, yaitu :
1.      Pengecualian dari hukum kulli yang mengacu kepada tidak ada hukum sama sekali, tanpa ada uzur, kasus sperti ini, menurut para ahli ushul, termasuk sesuatu yang masyru alakhilaf al-qiyas. Artinya hukum itu disyariatkan berbeda dengan kaidah umum yang berlaku dalam syariat Islam. Contohnya, kebolehan jual beli salam (pesanan).
2.      Pembatalan hukum-hukum taklifi yang memberatkan yang ditetapkan bagi umat sebelum Islam. Misalnya hukuman pembunuhan sebagai petunjuk taubat; shalat ditentukan hanya ditempat ibadah; membayar zakat dan seperempat harta. Dan merobek bagian pakaian yang kena najis.
3.      Hukum-hukum yang memberikan kelapangan bagi umat Islam, seperti bebas memanfaatkan benda-benda mubah serta mengkonsumsi benda-benda yang lezat. Jenis ini termasuk rukhshah secara majazi (metafora).
d.   Memilih antara Rukhshah dengan Azimah
Dalam menentukan pilihan yang paling afdhol antara rukhshah dengan azimah terdapat perbedaan pendapat ulama ushl fiqh. Sebagian ulama ushul fiqh menyatakan bahwa yang paling afdhal adalah memilih azimah, sedangkan sebagian ulama lain menyatakan bahwa yang paling afdhal adalah memilih rukhshah.
Alasan yang dikemukakan ulama ushul fiqh yang mengatakan bahwa azimah yang afdhal adalah :
1.      Azimah itu merupakan hukum asal yang bersifat umum untuk seluruh mukallaf, dan bersifat qath’i. sedangkan al-rukhshah, sekalipun bersifat qath’i tetapi ketika diringankan statusnya berubah menjadi zhanni.
2.      Azimah sejalan dengan kaidah dasar yang menyeluruh dan berlaku untuk seluruh mukallaf, sedangkan rukhshah merupakan hukum parsial yang berlaku pada mukallaf, tempat dan waktu tertentu saja. Oleh sebab itu, rukhshah merupakan hukum pengecualian dari azimah.
3.      Mengambil yang rukhshah pada gilirannya bisa menjurus kepada meninggalkan hukum – hukum azimah dalam beribadah.
4.    Prinsip dasar dalam syara’ adalah taklif yang mengandung unsur kesukaran dan kesulitan, sehingga dengan kesukaran dan kesulitan itu amalan mukallaf lebih bernilai .
Adapun alasan yang di kemukakan para ulama ushul fikh yang berpendapat bahwa mengambil rukhshah lebih afdhol dari azimah adalah :
1.         Ayat-ayatyang menunjukan bahwa banyak hukum yang disyari’atkan dengan cara menghindar kesukaran dan kesulitan dari mukalaf, dan dalil-dalil ini mencapai drajat qat’ di antaranya firman Allah :
 “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.(Q.S. Albaqarah  :185)”
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu,  (Q.S. Almaa’idah)”
2.         Tujuan syar’I dalam rukhshah itu adalah untuk memberi keringanan dan menunjukan kasih saying Allah kepada hamba-hambaNya. Oleh sebab itu,siapa yang  mengambil rukhshah berarti sejalan dengan maksud syar’I diatas. Allah sendiri mengecam orang-orang yang mencari-cari kesulitan dalam amalan agama. Firman Allah :
 “ Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da'wahku dan bukanlah Aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. (Q.S Shaad 86)”
3.         Meninggalkan rukhshah dalam keadaan uzur (ada sebab) bisa menjurus pada kemalasan seseorang untuk melakukan kewajiban. Sikap seperti ini tidak di bolehkan oleh syara; Dalam kaitan ini Rasullah saw bersabda yang artinya :
”Ambillah amalan yang mampu kamu laksanakan, sesungguhnya Allah itu tidak pernah bosan sebelum kamu sendiri yang bosan. (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah).”
Dalam menanggapi pandangan dan alasan yang di kemukakan dua kelompok ulama Ushul Fiqh di atas, Imam Al-Syathibi mengatakan bahwa secara realitas, persoalan ini terletak pada kualitas kesulitan dan kesukaran yang dihadapi seseorang dan hukumnya pun tergantung kepada ijtihad masing – masing, sesuai dengan kondisi keimanan dan ketaqwaannya.
Kemudian Muhammad Al-Khudhari Bik mengatakan bahwa setiap mukallaf memahami kondisi dirinya dan bisa menentukan pilihan antara rukhshah dan azimah. Penyebab adanya rukhshah adalah munculnya musyaqqah yang bisa berbeda pada setiap orang, tempat dan waktu.
Akan tetapi, seluruh ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa melakukan berbagai amalan dengan memilih yang rukhshah saja, bisa menjurus kepada beramal sesuai dengan hawa nafsu pribadi, serta menjurus kepada sikap pelarian dari azimah. Dalam kaitan dengan ini, Ibnu Hazm Al-Andalusi mengatakan bahwa sikap seperti ini tidak dibenarkan dalam syara’ karena yang menjadi ukuran dalam beramal adalah ketentuan syara’, bukan hawa nafsu seseorang.



BAB III
PENUTUP

Azimah dan rukhsoh merupakan fasilitas yang dapat dimanfaatkan oleh setiap mukallaf, meskipun pada pelaksanaannya para ulama berbeda pendapat. Namun meskipun terjadi ikhtlaf, setidaknya dapat kita simpulkan bahwa pelaksanaan hukum fiqh tidak monoton dan kaku tetapi fleksibel dan dinamis tergantung situasi dan kondisi para mukallaf itu sendiri , Hal ini sejalan dengan firman Allah :
Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèóãr 4 $ygs9 $tB ôMt6|¡x. $pköŽn=tãur $tB ôMt6|¡tFø.$#
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.”











DAFTAR PUSTAKA


Al-Khatib, Muhammad Ajjaz, Ushul Hadits:Ulumuhu wa musthaluhuu, Beirut: Daar Al-Fikr, 1981

Shihab, Muhammad Quraisy, Membumikan Al-qur’an ; Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan bermasyarakat, Bandung:Mizan, 1992

Sya’ban, Zakiy al-din, Ushul Fiqh al-Islami, Mesir: Dar-al-Ta’lifi, 1961
Umam, Khairul, Drs., dkk, Ushul Fiqh 1 Bandung : Pustaka Setia, 1998