A. Pendahuluan
Sejak awal diterapkannya sistem madrasah di Indonesia pada sekitar awal abad ke-20, madrasah telah menampilkan identitasnya sebagai lembaga pendidikan Islam. Identitas itu tetap dipertahankan meskipun harus menghadapi berbagai tantangan dan kendala yang tidak kecil, terutama pada masa penjajahan.
Pada masa itu, banyak sekali peraturan-peraturan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda, yang pada intinya tidak lain adalah untuk mengontrol atau mengawasi madrasah. Karena pemerintah takut dari lembaga pendidikan tersebut akan muncul gerakan atau ideologi perlawanan yang akan mengancam kelestarian penjajahan mereka di bumi Indonesia ini. Dampak dari ketakutan yang berlebihan itu mencapai puncaknya ketika banyak madrasah yang ditutup karena dianggap melanggar ketentuan yang digariskan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Ketika Indonesia diproklamasikan sebagai negara merdeka tahun 1945, madrasah kembali bermunculan dengan tetap menyandang identitas sebagai lembaga pendidikan Islam. Pemerintah RI memiliki perhatian terhadap madrasah atau pendidikan Islam umumnya, terbukti juga dengan dibentuknya Departemen Agama (Depag) pada 3 Januari tahun 1946. Dalam bagian struktur organisasinya terdapat bagian pendidikan dengan tugas pokoknya mengurus masalah pendidikan agama di sekolah umum dan pendidikan agama di sekolah agama (madrasah dan pesantren), di samping itu ditambah lagi dengan penyelenggaraan pendidikan guru untuk pengajaran agama di sekolah umum, dan guru pengetahuan umum di perguruan-perguruan agama.
Namun demikian, perhatian pemerintah tersebut tidak berlanjut. Hal ini tampak ketika undang-undang pendidikan nasional pertama (UU No. 4 tahun 1950 jo UU No. 12 tahun 1954) diundangkan, masalah madrasah dan pesantren tidak dimasukkan sama sekali, Oleh karena itu mulai muncul sikap diskriminatif pemerintah terhadap madrasah dan pesantren.
Seharusnya pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama (Depag) berusaha membuka akses madrasah ke pentas nasional, karena memang salah satu tujuan dari pembentukan Departemen Agama adalah untuk memperjuangkan politik pendidikan Islam. Tetapi terlepas apakah tujuan itu tercapai atau tidak, banyak yang menganggap Departemen Agama telah banyak berbuat untuk memajukan madrasah. Hal itu bisa dilihat dari berbagai kebijakan yang dibuat oleh Departemen Agama.
Salah satu kebijakan Departemen Agama terhadap madrasah yang cukup mendasar adalah dibuatnya Surat Kesepakatan Bersama (SKB) 3 Menteri, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama tentang “Peningkatan Mutu pendidikan pada Madrasah” pada tahun 1975. Tulisan ini membahas hal-hal tersebut dengan mengetahkan materi pokok dari SKB 3 Menteri tahun 1975, madrasah pasca SKB 3 Menteri, munculnya MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus), implikasi dari SKB 3 Menteri tersebut.
B. Pembahasan
1. Lahirnya SKB 3 Menteri tahun 1975
Pada tanggal 18 April tahun 1972, presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972 tentang Tanggung-Jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan. Dua tahun berikutnya, Keppres itu dipertegas dengan Instruksi Presiden No. 15 tahun 1974 yang mengatur realisasinya.
Bagi Departemen Agama yang mengelola pendidikan Islam, termasuk madrasah, keputusan ini menimbulkan masalah. Padahal dalam Tap MPRS No. 27 tahun 1966 dinyatakan bahwa agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan Nasional. Selain itu, dalam Tap MPRS No. 2 tahun 1960 ditegaskan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan Menteri Agama.
Kebijakan Keppres 34/1972 yang kemudian diperkuat dengan Inpres 15/1974 menggambarkan ketegangan yang cukup keras dalam hubungan madrasah dengan pendidikan nasional. Ketegangan ini wajar saja muncul dan dirasakan oleh umat Islam. Betapa tidak, pertama, sejak diberlakunya UU No. 4 tahun 1950 jo UU No. 12 tahun 1954, masalah madrasah dan pesantren tidak dimasukkan dan bahkan tidak disinggung sama sekali, yang ada hanya masalah pendidikan agama di sekolah (umum). Dampaknya madrasah dan pesantren dianggap berada di luar sistem. Kedua, umat Islam pun “curiga” bahwa mulai muncul sikap diskriminatif pemerintah terhadap madrasah dan pesantren.
Munculnya reaksi dari umat Islam ini disadari oleh pemerintah Orde Baru, kemudian pemerintah mengambil kebijakan yang lebih operasional dalam kaitan dengan madrasah, yaitu melakukan pembinaan mutu pendidikan madrasah. Sejalan dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan madrasah inilah, pada tanggal 24 Maret 1975 dikeluarkan kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang ditandatangani oleh Menteri Agama (Prof. Dr. Mukti Ali), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Letjen. TNI Dr. Teuku Syarif Thayeb) dan Menteri Dalam Negeri (Jend. TNI Purn. Amir Machmud).
SKB ini dapat dipandang sebagai model solusi yang di satu sisi memberikan pengakuan eksistensi madrasah, dan di sisi lain memberikan kepastian akan berlanjutnya usaha yang mengarah pada pembentukan sistem pendidikan nasional yang integratif. Sejumlah diktum dari SKB 3 Menteri ini memang memperkuat posisi madrasah, yaitu:
a. Madrasah meliputi 3 tingkatan: MI setingkat dengan SD, MTs setingkat dengan SMP, dan MA setingkat dengan SMA
b. Ijazah madrasah dinilai sama dengan ijazah sekolah umum yang sederajat.
c. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih atas.
d. Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
2. Madrasah pasca SKB 3 Menteri
Dengan diterbitkannya SKB 3 Menteri tahun 1975 yang bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan madrasah, dan diterapkannya kurikulum baru pada tahun 1976 sebagai realisasi SKB 3 Menteri tersebut; SKB 3 Menteri itu memberikan nilai positif dengan menjadikan status madrasah yang sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Sisi positif lain dari SKB 3 Menteri telah mengakhiri reaksi keras umat Islam yang menilai pemerintah terlalu jauh mengintervensi kependidikan Islam yang telah lama dipraktikkan umat Islam. Dengan berlakunya SKB 3 Menteri, maka kedudukan madrasah memang telah sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Dari segi organisasi, madrasah sama dengan sekolah umum; dari segi jenjang pendidikan, MI, MTs dan MA sederajat dengan SD, SMP dan SMA.
Substansi dan pembakuan kurikulum sekolah umum dan madrasah ini antara lain :
a. Kurikulum sekolah umum dan madrasah terdiri dari program inti dan program khusus.
b. Program inti untuk memenuhi tujuan pendidikan sekolah umum dan madrasah secara kualitatif sama.
c. Program khusus (pilihan) diadakan untuk memberikan bekal kemampuan siswa yang akan melanjutkan ke Perguruan Tinggi bagi sekolah dan madrasah tingkat menengah atas.
d. Pengaturan pelaksanaan kurikulum sekolah dan madrasah mengenai sistem kredit, bimbingan karier, ketuntasan belajar dan sistem penilaian adalah sama.
e. Hal-hal yang berhubungan dengan tenaga guru dan sarana pendidikan dalam rangka keberhasilan pelaksanaan kurikulum akan diatur bersama oleh ke dua departemen tersebut.
3. MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus)
Sejak SKB 3 Menteri tahun 1975 dikeluarkan dan diteruskan dengan SKB 2 Menteri tahun 1984, secara formal madrasah sebenarnya sudah menjadi sekolah umum yang menjadikan pendidikan agama sebagai ciri kelembagaannya.
Ada semacam dilema bagi madrasah sejak saat itu, di mana di satu pihak materi pengetahuan umum bagi madrasah secara kuantitas dan kualitas mengalami peningkatan, tapi di lain pihak penguasaan murid terhadap ilmu agama, terutama seperti bahasa Arab, menjadi serba tanggung, karenanya kalau mengharapkan lahirnya figur-figur kiai atau ulama dari madrasah tersebut, tentu saja adalah hal yang terlalu riskan.
Ada semacam dilema bagi madrasah sejak saat itu, di mana di satu pihak materi pengetahuan umum bagi madrasah secara kuantitas dan kualitas mengalami peningkatan, tapi di lain pihak penguasaan murid terhadap ilmu agama, terutama seperti bahasa Arab, menjadi serba tanggung, karenanya kalau mengharapkan lahirnya figur-figur kiai atau ulama dari madrasah tersebut, tentu saja adalah hal yang terlalu riskan.
Menyadari akan hal itu, pemerintah berusaha mengadakan terobosan-terobosan dan usaha tersebut terealisasi dengan keinginan pemerintah mendirikan Madrasah Aliyah yang bersifat khusus, yang kemudian dikenal dengan nama Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK).
Kelahiran MAPK yang didasari dengan Keputusan Menteri Agama No. 73 tahun 1987, tepatnya pada masa Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA menjabat sebagai Menteri Departemen Agama selama dua periode (1983-1993). Sistem pendidikan madrasah menjadi perhatian beliau di masa jabatannya. Selama ini madrasah masih dianggap sebagai lembaga pendidikan “kelas dua” dibandingkan sekolah umum. Fasilitas yang minimal, lokasi yang kebanyakan di pedesaan, dan kurikulum yang tidak seimbang antara pendidikan agama dan umum, menyebabkan lembaga ini tidak banyak menghasilkan bibit unggul bagi IAIN. Untuk itu, beliau meninjau kembali SKB 3 Menteri tahun 1975, antara lain menetapkan bahwa madrasah harus bermuatan 70% pengetahuan umum dan 30% pengetahuan agama, dengan harapan agar madrasah sederajat dengan sekolah umum, terutama dari segi kurikulum.
Sasaran utama dari program ini adalah :
a. Siswa Aliyah yang berasal dari keluarga yang tidak mampu dalam aspek pembiayaan
b. Siswa yang menjadikan madrasah Aliyah sebagai terminal/tidak melanjutkan ke perguruan tinggi,
c. Siswa yang setelah tamat menjadi pencari kerja. Atas dasar pemikiran tersebut maka ditetapkan visi MAPK menyiapkan SDM yang trampil, mandiri, religius dan berwawasan ke depan.
Adapun tujuan utama dibukanya program ini adalah :
a. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga ahli di bidang agama Islam sesuai dengan tuntutan pembangunan nasional dalam rangka peningkatan mutu pendidikan pada madrasah Aliyah.
b. Untuk menyiapkan lulusan agar memiliki kemampuan dasar yang diperlukan bagi pengembangan diri sebagai ulama yang intelek.
c. Menyiapkan lulusan sebagai calon mahasiswa IAIN atau PTAI lainnya termasuk calon mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir.
4. Implikasi SKB 3 Menteri
Implikasi SKB 3 Menteri 1975 ini antara lain:
a. Aspek Lembaga
Madrasah yang dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional, telah berubah dan membuka peluang bagi kemungkinan siswa-siswa madrasah memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern. Lebih dari itu madrasah juga telah mendapat pengakuan yang lebih mantap bahwa madrasah adalah bagian dari sistem pendidikan nasional walaupun pengelolaannya dilimpahkan pada Departemen Agama. Dan secara tidak langsung hal ini memperkuat dan memperkokoh posisi Departemen Agama dalam struktur pemerintahan, karena telah ada legitimasi politis pengelolaan madrasah.
b. Aspek Kurikulum
Karena diakui sejajar dengan sekolah umum, maka komposisi kurikulum madrasah harus sama dengan sekolah, berisi mata pelajaran dengan perbandingan 70% mata pelajaran umum dan 30% pelajaran agama. Efeknya adalah bertambahnya beban yang harus dipikul oleh madrasah. Di satu pihak ia harus memperbaiki mutu pendidikan umumnya setaraf dengan standar yang berlaku di sekolah. Di lain pihak, bagaimanapun juga madrasah harus menjaga agar mutu pendidikan agamanya tetap baik.
c. Aspek Siswa
Dalam SKB 3 Menteri ditetapkan bahwa:
1. ijazah siswa madrasah mempunyai nilai sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat,
2. siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat, dan
3. lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang lebih atas.
d. Aspek Masyarakat
SKB 3 Menteri telah mengakhiri reaksi keras umat Islam yang menilai pemerintah terlalu jauh mengintervensi kependidikan Islam yang telah lama dipraktikkan umat Islam atas dasar semangat pembaruan di kalangan umat Islam. Tentunya semua ini karena madrasah adalah wujud riel dari partisipasi masyarakat (communnity participation) yang peduli pada nasib pendidikan bagi anak bangsanya. Hal ini terbukti jelas dengan prosentase madrasah yang berstatus swasta jauh lebih banyak (91%) dibandingkan dengan yang berstatus negeri (9%).
Trend pengelolaan pendidikan yang semakin menitikberatkan pada peningkatan partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya akan menuntut para pengelola madrasah agar mampu terlepas dari berbagai ketergantungan. Dengan kembali pada khiththah madrasah sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat (community based education), maka madrasah hanya tinggal maju satu tahap ke depan yakni memberdayakan partisipasi masyarakat agar lebih efektif dan efisien.
Untuk menunjang suksesnya pendidikan berbasis masyarakat, maka peranan masyarakat sangat besar sekali. Masyarakat sebagai obyek pendidikan sekaligus juga akan menjadi subyek pendidikan. Sebagai obyek pendidikan, masyarakat merupakan sasaran garapan dari dunia pendidikan dan sebagai subyek pendidikan, masyarakat berhak mendesain model pendidikan sesuai dengan potensi dan harapan yang diinginkan oleh masyarakat setempat. Lebih dari itu sebagai subyek pendidikan, masyarakat juga bertanggungjawab terhadap prospek, termasuk dana pendidikan.
Trend pengelolaan pendidikan yang semakin menitikberatkan pada peningkatan partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya akan menuntut para pengelola madrasah agar mampu terlepas dari berbagai ketergantungan. Dengan kembali pada khiththah madrasah sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat (community based education), maka madrasah hanya tinggal maju satu tahap ke depan yakni memberdayakan partisipasi masyarakat agar lebih efektif dan efisien.
Untuk menunjang suksesnya pendidikan berbasis masyarakat, maka peranan masyarakat sangat besar sekali. Masyarakat sebagai obyek pendidikan sekaligus juga akan menjadi subyek pendidikan. Sebagai obyek pendidikan, masyarakat merupakan sasaran garapan dari dunia pendidikan dan sebagai subyek pendidikan, masyarakat berhak mendesain model pendidikan sesuai dengan potensi dan harapan yang diinginkan oleh masyarakat setempat. Lebih dari itu sebagai subyek pendidikan, masyarakat juga bertanggungjawab terhadap prospek, termasuk dana pendidikan.
5. Madrasah Ke Depan
Untuk peningkatan mutu madrasah secara efektif, diperlukan pemahaman terhadap hakekat dan problematika madrasah. Madrasah sebenarnya merupakan model lembaga pendidikan yang ideal karena menawarkan keseimbangan hidup: iman-taqwa (imtaq) dan ilmu pengetahuan-teknologi (iptek). Di samping itu, sebagai lembaga pendidikan berbasis agama dan memiliki akar budaya yang kokoh di masyarakat, madrasah memiliki basis sosial dan daya tahan yang luar biasa. Atas dasar itu apabila madrasah mendapatkan sentuhan menejemen dan kepemimpinan yang baik niscaya akan dengan mudah menjadi madrasah yang diminati masyarakat. Seandainya mutu madrasah itu sejajar saja dengan sekolah, niscaya akan dipilih masyarakat, apalagi kalau lebih baik.
Persoalannya, kondisi sebagian besar madrasah sedang menghadapi persoalan serius. Menurut Yahya Umar, madrasah diibaratkan sebagai mobil tua sarat beban. Kurikulum madrasah adalah 130 % dari kurikulum sekolah karena komposisi kurikulum 70:30 (umum: agama) dan mata pelajaran umum madrasah sama dengan yang ada di sekolah. Lalu upaya apakah yang paling strategis atau kiat-kiat yang paling jitu dalam mempercepat peningkatan mutu madrasah. Menurut Yahya Umar , kalau madrasah diibaratkan mesin, maka ada tiga hal yang hendak dilakukan direktoratnya: menyehatkan mesin, mengurangi beban dan merubah beban menjadi energi.
Pertama, menyehatkan mesin. Mesin dalam sebuah organisasi pendidikan dapat berwujud budaya organisasi dan proses organisasi. Dalam mewujudkan budaya madrasah yang baru, diperlukan konsolidasi idiil berupa reaktualisasi doktrin-doktrin agama yang selama ini mengalami pendangkalan, pembelokan dan penyempitan makna. Konsep tentang ihlas, jihad, dan amal shaleh perlu direaktualisasikan maknanya dan dijadikan core values dalam penyelenggaraan pendidikan madrasah. Dengan landasan nilai-nilai fundamental yang kokoh, akan menjadikan madrasah memiliki modal sosial (social capital) yang sangat berharga dalam rangka membangun rasa saling percaya (trust), kasih sayang, keadilan, komitmen, dedikasi, kesungguhan, kerja keras, persaudaraan dan persatuan.
Menurut Azyumardi Azra, inilah tantangan madrasah yang harus dihadapi, meskipun peluang bagi umat Islam jelas masih tetap besar, setidak-tidaknya dalam dua dasawarsa terakhir, umat Islam telah menemukan “new attachment” yang merupakan modal yang sangat berharga bagi madrasah atau lembaga pendidikan Islam umumnya. Kini tinggal bagi madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya untuk memberdayakan dirinya benar-benar menjadi “pendidikan alternatif” yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi arus modernisasi dan globalisasi.
Menurut Mastuhu, madrasah dapat dikembangkan melalui kekuatan, karakter dan kebutuhannya sendiri. Kekuatan madrasah adalah lahir dari panggilan agama bahwasanya belajar dan mencari ilmu merupakan perintah wajib sepanjang hayat. Karakteristik madrasah adalah memegang tegup prinsip bahwa belajar dan menyelenggarakan usaha pendidikan adalah panggilan tugas agama, serta tidak hanya tanggung jawab sebatas kepentingan dunia tetapi juga diyakini harus dipertanggungjawabkan di akhirat nanti atau di hadapan Tuhan kelak. Kebutuhan madrasah adalah penguatan pada seluruh komponen pendidikannya dan pengakuan atau kepercayaan dari semua pihak. Islam pasti tidak akan mengajarkan kekerasan dan madrasah jug pasti tidak akan mengajarkan hal yang anti-negara. Madrasah membutuhkan evaluasi dan akreditasi demi kemajuan dan peningkatan mutu, serta kontribusinya bagi bangsa dan negara.
Bagaimana pun solusi yang ditawarkan, madrasah telah menunjukkan jati diri yang fenomenal sebagai lembaga pendidikan Islam. Madrasah telah melakukan perjalanan panjang dan telah banyak memberikan kontribusi pada dunia pendidikan Islam dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
C. Kesimpulan
Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 tahun 1974 ternyata menimbulkan reaksi keras umat Islam. SKB 3 Menteri ini bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan madrasah. SKB 3 Menteri itu telah direalisasikan dengan dikeluarkannya kurikulum baru pada tahun 1976. Terlepas dari kenyataan bahwa banyak sekali madrasah yang tidak mengikuti kurikulum tersebut dan tetap berusaha mempertahankan status madrasah sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan agama Islam sebagai pengajaran pokok, SKB ini sering dipuji banyak memiliki nilai positif antara lain :
a. Madrasah telah sejajar kedudukannya dengan sekolah-sekolah umum.
b. Mengakhiri reaksi keras umat Islam yang menilai pemerintah terlalu jauh mengintervensi kependidikan Islam yang telah lama dipraktikkan umat Islam.
c. Upaya untuk mengintegrasikan madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional
Dengan demikian, lahirnya SKB 3 Menteri ini tampaknya telah dijadikan sumber inspirasi. Peristiwa dan langkah pada periode itu bisa dipandang sebagai momen strategis bagi eksistensi dan perkembangan madrasah pada masa berikutnya. Madrasah tidak saja tetap eksis dan dikelola oleh Departemen Agama, tetapi sekaligus diposisikan secara mantap dan tegas seperti halnya sekolah dalam sistem Pendidikan Nasional.
Akan tetapi, Ini jelas beban yang sangat berat dipikul oleh madrasah. Di satu sisi ia harus tetap mempertahankan mutu pendidikan agama yang menjadi ciri khasnya, di sisi lain ia dituntut untuk mampu menyelenggarakan pendidikan umum secara baik dan berkualitas supaya sejajar dengan sekolah-sekolah umum.
Melihat kondisi madrasah ini, pemerintah seharusnya tidak lagi menomorduakan madrasah, melainkan memperlakukannya dan memperhatikannya secara khusus dan “jeli” agar madrasah dan siswanya dapat mengejar ketertinggalannya dan tidak lagi menjadi forgotten community. Mungkin pemerintah selama ini berasumsi: "tanpa dibantu pun madrasah sudah dapat hidup". Asumsi ini memang tidak terlalu salah, akan tetapi tidak seharusnya menjadi alasan untuk tidak membantunya.
Melihat kondisi madrasah ini, pemerintah seharusnya tidak lagi menomorduakan madrasah, melainkan memperlakukannya dan memperhatikannya secara khusus dan “jeli” agar madrasah dan siswanya dapat mengejar ketertinggalannya dan tidak lagi menjadi forgotten community. Mungkin pemerintah selama ini berasumsi: "tanpa dibantu pun madrasah sudah dapat hidup". Asumsi ini memang tidak terlalu salah, akan tetapi tidak seharusnya menjadi alasan untuk tidak membantunya.