3 Maret 2012

PERKEMBANGAN ASPEK TEOLOGI DALAM ISLAM

PERKEMBANGAN ASPEK TEOLOGI DALAM ISLAM

I.     PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang universal. Universalitas tersebut dapat dilihat dari mungkinnya Islam dipelajari dan didalami dari berbagai aspek. Selama ini kita hanya mengetahui Islam hanya dari sudut pandang fiqh saja. Bahkan tidak jarang diantara kita yang memandang bahwa dengan mempelajari fiqh berarti sudah mempelajari islam.
 Sebagai salah satu akibat dari mempelajari islam hanya dari satu atau dua aspek saja, dikhawatirkan pemahaman kita sebagai umat Islam menjadi parsial dan tidak komprehensif. Bila hal ini terakumulasi secara jangka panjang akan membuat citra Islam sebagai agama yang universal menjadi kabur dan semu.
 Aspek lain dalam Islam yang tidak kalah penting dan harus dipelajari oleh Umat Islam agar dapat memahami Islam secara komprehensif adalah aspek teologi. Prof. Dr. Harun Nasution menyebutkan bahwa aspek teologi ini merupakan aspek terpenting dan menjadi aspek dasar dalam Islam. Makalah ini akan sedikit mengupas tentang aspek teologi dalam Islam beikut perkembangannya.

II.      PEMBAHASAN
A.      PENGERTIAN TEOLOGI
Secara etimologi “Theologi “ terdiri dari kata “Theos“ artinya Tuhan, dan “Logos“  artinya Ilmu, sehingga dapat diartikan bahwa theologi adalah ilmu tentang Tuhan atau ilmu Ketuhanan.[1]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, teologi berarti pengetahuan ketuhanan (mengenai sifat Allah, dasar kepercayaan kepada Allah dan Agama, terutama berdasar pada kitab suci ). [2]
Prof. Dr. Harun Nasution, dalam bukunya Teologi Islam,  menyebutkan  bahwa teologi adalah ilmu yang membahas mengenai dasar-dasar agama. Dalam istilah arab, ajaran-ajaran dasar itu disebut ushul al-din, oleh karena itu buku yang membahas soal-soal teologi dalam Islam selalu diberi nama kitab Usul al-Din oleh para pengarangnya. Teologi dalam Islam disebut juga  Ilm Tauhid. Kata Tauhid mengandung arti satu atau  esa dan keesaan dalam pandangan islam, merupakan sifat terpenting diantara sifat-sifat Tuhan. Teologi dalam Islam disebut juga ilmu kalam, karena kaum teolog dalam Islam bersilat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing[3]
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat kita pahami bahwa teologi dalam islam adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang dasar-dasar agama Islam, keesaan Allah beserta sifat-sifatnya. Seorang muslim yang mempelajari teologi islam diharapkan akan memahami dasar-dasar islam secara lebih mendalam dan lebih mengerti tentang keesaan Allah beserta sifat-sifat-Nya.

B.  OBJEK KAJIAN TEOLOGI
Dalam perkembangannya, teologi juga berbicara tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan keimanan serta akibat-akibatnya, seperti masalah iman, kufur, musyrik, murtad; masalah kehidupan akhirat dengan berbagai kenikmatan atau penderitaannya; hal-hal yang membawa pada semakin tebal dan tipisnya iman; hal-hal yang berkaitan dengan kalamullah yakni Al-Qur’an, status orang-orang yang tidak beriman dan lain sebagainya.
Sejalan dengan perkembangan ruang lingkup ini, maka teologi sebagaimana telah disebutkan diatas juga dinamai ilmu tauhid, karena mengajak orang agar meyakini dan mempercayai hanya pada satu Tuhan, yaitu Allah SWT. Selanjutnya dinamai ilmu ushuludin, karena ilmu ini membahas pokok-pokok keagamaan yaitu keyakinan dan kepercayaan pada tuhan. Dinamai pula ilmu aqaid, karena dengan ilmu ini seseorang diharapkan agar meyakini dalam hatinya secara mendalam dan mengikatkan dirinya hanya kepada Allah sebagai Tuhan.[4]
C.  MADZHAB-MADZHAB TEOLOGI DAN KARAKTERISTIK MASING-MASING
1.    Khawarij
Golongan ini pada mulanya muncul bukan karena persoalan aqidah, melainkan persoalan politik dimana terjadi peperangan antara mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Ali bin Abi Thalib. Saat perang berkecamuk, seseorang mengangkat Al-qur’an dengan pedangnya untuk mengadakan tahkim (arbitrase) yaitu mengangkat seorang hakim yang bertujuan mengadakan perundingan untuk mengakhiri perang.
Sebagian orang dari barisan Ali menerima tahkim tersebut dan sebagian lainnya tidak, kemudian memilih keluar dari barisan karena kecewa karena Ali menerima tahkim tersebut. Kata Khawarij berasal dari bahasa Arab yang berarti keluar. Nama itu dberikan kepada mereka, karena mereka keluar dari barisan Ali.[5]
Dalam perkembangan selanjutnya, persoalan politik ini melebar ke arah persoalan aqidah dimana kaum khawarij meyakini hal-hal sebagai berikut :
a.    Bahwa Saidina Ali, Khalifah Ustman dan orang-orang yang melakukan tahkim, yakni Amr bin al-‘Ash dan Abu Musa al-Asy’ari adalah orang-orang kafir. Demikian juga orang yang menerima keputusan tahkim itu. Juga para peserta yang ikut dalam perang Jamal melawan Saidina Ali, seperti Siti Aisyah, Thalhah dan Zubeir.
b.    Semua orang muslim yang melakukan dosa besar adalah kafir yang kekal dalam neraka jika tidak bertobat sebelum mati.
c.    Wajib memisahkan diri dari khalifah atau sulthan yang zalim. Dan khalifah itu boleh dilantik dari orang yang bukan keturunan Quraisy.[6]



2.    Murji’ah
Seperti halnya kaum khawarij, golongan ini pada mulanya  muncul karena persoalan politik. Sebagaimana disebutkan tentang peristiwa tahkim  antara kelompok Mu’awiyah dan kelompok Ali, kelompok Ali terbelah dua, sebagian mendukung Ali yang kemudian memunculkan kelompok syi’ah dan sebagian menentangnya yang kemudian memunculkan kelompok Khawarij. Kedua kelompok ini sama-sama menentang dan mengkafirkan Mu’awiyah, hanya dengan motifnya yang berbeda.
Dalam suasana pertentangan serupa inilah, timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap netral tidak mau turut dalam praktek kafir-mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan itu. Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercaya dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya salah, dan memandang lebih baik menunda penyelesaian persoalan ini ke hari perhitungan di depan Tuhan.[7] Nama murji’ah sendiri berasal dari kata arja’a yang berarti menunda[8].
Pada umumnya kaum murjiah dapat dibagi dalam dua golongan besar, golongan moderat dan golongan ekstrim. Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali. Sedangkan golongan yang ekstrim berpendapat bahwa orang islam yang percaya pada Tuhan dan menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah mennjadi kafir, karena iman dan kafir tempatnya hanya dalam hati, bukan dalam bagian yang lain dari tubuh manusia.[9]


3.    Jabariyah
Paham ini diajarkan dan dikembangkan oleh Jaham bin Safwan yang memperoleh banyak pengikut, sehingga ajaran ini juga dikenal dengan madzhab Jahamiyah. Golongan ini menganut paham bahwa manusia tidak mempunyai ikhtiar atau pilihan dan kebebasan dalam menentukan nasib dan perbuatannya dalam kehidupan di dunia ini. Segala sesuatu telah digariskan Allah atasnya sejak zaman azali.[10]
Nama Jabariyah berasal dari kata jabara  yang mengadung arti memaksa. Dalam istilah inggris paham ini disebut fatalism atau predestination. Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh kada dan kadar Tuhan.[11]
Adapun pendapat yang lain dari golongan ini antara lain :
a.    Pengggunaan takwil, artinya Allah tidak dapat disifati dengan sifat-sifat makhluk. Dan karena itu ia menakwilkan sifat-sifat Allah yang ada persamaannya dengan sifat manusia.
b.    Surga dan neraka tidak kekal, akan datang suatu masa yang padanya surga dan neraka akan fana dengan segala isinya dan yang tinggal kekal hanya Allah saja. Selain dari Allah, semuanya akan binasa.
c.    Iman, Iman itu adalah makrifah atau pengakuan hati saja akan wujud Allah dan kerasulan Muhammad SAW, Ucapan lisan dan perbuatan anggota badan yang lain tidak termasuk dalam iman.
d.    Makrifat iman itu wajib berdasarkan akal sebelum turunnya wahyu dan kedatangan rasul.[12]

4.    Qadariyah
Pemuka mazhab ini adalah Ghailan al-Dimasqi, Golongan ini disebut Qadariyah adalah karena pendapatnya tentang kedudukan manusia diatas bumi. Golongan ini mengatakan bahwa manusia mempunyai iradah yang bebas dan kuasa  penuh dalam menentukan amal perbuatan yang dilakukan dan karenanya ia bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan. Jika amalnya baik, balasannya juga baik, dan jika buruk, maka balasannya juga buruk. Artinya nasib manusia ditentukan oleh manusia sendiri dan Tuhan tidak ada kuasa campur tangan dalam hal tersebut.
Selain hal tersebut diatas, golongan ini juga mengatakan hal-hal sebagai berikut :
a.    Menafikan sifat-sifat Allah, karena menurutnya sifat itu identik dengan dzat, bukan sesuatu yang berbeda dengan dzat.
b.    Menafikan bahwa al-Qur’an itu qadim
c.    Tentang politik, khalifah atau imam boleh dilantik dari selain kaum quraisy.[13]

5.    Mu’tazilah
Penulis Islam klasik, seperti syarastani, al-baghdadi, ar-Razi, ibn Khilikan dan lain-lain menyatakan bahwa golongan mu’tazilah lahir dari majlis pengajian Hasan al-bashri di Bashrah. Beliau ini seorang pemuka tabiin yang terkenal dan merupakan seorang imam dan guru yang mengajar agama di Masjid Agung Bashrah pada waktu itu. Nama mu’tazilah diberikan pertama kali pada Washil bin ‘Ata pada saat terjadi dialog tentang nasib orang mukmin yang melakukan dosa besar, apakah masuk neraka atau tetap dalam surga.[14]
Golongan ini mempunyai lima ajaran, yang terkenal dengan istilah lima prinsip (أصول الخمسة), yaitu :
a.    Tauhid (Keesaan Tuhan), yakni pengakuan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, seperti yang telah digariskan dalam kalimah tauhid.
b.    Al-‘Adlu (keadilan Tuhan), yakni Allah wajib membalas orang mukmin yang taqwa dengan memasukkan mereka ke dalam surga dan wajib memasukkan orang kafir ke dalam neraka.
c.    Al-Manzilah bain al-Manzilatain (suatu tempat antara dua tempat), yakni pelaku dosa besar bukan orang mukmin yang mutlak dan juga bukan orang kafir yang mutlak.
d.   Al-Wa’du wa al-wa’id (janji baik dan janji buruk), yakni Allah wajib memberikan pahala kepada orang mukmin yang taat dan memberikan balasan siksa kepada orang mukmin yang durhaka. Golongan mu’tazilah menolak adanya syafaat yang diberikan kepada orang mukmin yang durhaka.
e.    Amar makruf dan nahi munkar, yakni menyuruh yang makruf dan melarang yang mungkar.[15]

6.    Ahli Sunnah Dan Jama’ah
Yang dimaksud dengan al-sunnah (السنة) ialah :
1.      Jalan. Artinya Ahlussunnah (أهل السنة ) adalah golongan yang mengikuti jalan para sahabat dan tabiin dalam masalah yang berkaitan dengan akidah, seperti bersikap “ menyerahkan makna atau maksud ayat-ayat mutasyabihat ( متشابهات ) kepada Allah tanpa menakwilkan kepada makna atau maksud lain dari pengertian lahirnya”.
2.      Hadis Nabi. Yakni golongan yang berpegang kepada hadis yang sahih.
Sedangkan yang dimaksud dengan jamaah (جماعة )yang dikaitkan dengan sunah adalah karena mereka dalam berdalil dan berhujah mempergunakan Kitab Allah, Sunah Rasul, ijma (إجماع) dan qias (قياس ). Mereka memandang empat landasan ini sebagai asas syariat Islam.[16]

Sunnah dalam term ini berarti Hadis. Sebagai diterangkan Ahmad Amin, Ahli Sunnah dan Jama’ah, berlainan dengan kaum Mu’tazilah percaya pada dan menerima hadis-hadis sahih tanpa memilih dan tanpa interpretasi. Dan Jama’ah berarti mayoritas sesuai dengan tafsiran yang diberikan Sadr al-Syari’ah al-Mahbubi yaitu ‘ammah al- muslimin (umumnya umat Islam) dan al-jama’ah al kasir wa al sawad al-a’zam (jumlah besar dan khalayak ramai).[17]
Mazhab Ahlussunnah wal Jamaah mendapat pengaruh besar dalam kalangan umat Islam setelah Abu Hasan al-Asy’ari bergabung dengannya.Sebelum itu beliau adalah penganut Mazhab Mu’tazilah dan murid Abu Ali al-Jabaiy, seorang pemuka Mu’tazilah yang terkenal pada waktu itu. Banyak riwayat yang menyebutkan sebab keluarnya dari paham Mu’tazilah dan yang paling masyhur adalah karena suatu diskusi yang terjadi dengan gurunya dan al-Asy’ari tidak merasa puas dengan jawaban gurunya. Sejak saat itu al-Asy’ari menyatakan keluar dari golongan Mu’tazilah dan mendirikan aliran baru yang identik dengan namanya yaitu al-Asy’ari yang sekarang kita kenal dengan aliran Ahlussunah wal Jamaah.
      Aliran Asy’ariyah cepat berkembang pada masa pemerintahan Nizhom al-Mulk, sedangkan aliran mu’tazilah mengalami kemunduran. Dengan demikian paham-paham Asy’ariyah mulai tersebar luas bukan di daerah kekuasaan saljuk saja, tetapi di dunia Islam lainnya.


[1] A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1980 ) , Cet. Ke- 2 hal.11
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia,  (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), cet. keempat
[3] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-Aliran/Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta : UI-Press, 1986), Cet. Ke-5, hal.ix.
[4] Dr. H. Abudin Nata, MA., (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000) Metodologi Studi Islam, Hal. 221
[5] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-Aliran/Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta : UI-Press, 1986), Cet. Ke-5, hal.13
[6] Dr.Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Kalam, ( Jakarta: PT Bulan Bintang, 1997 ), Cet.ke-1, hal.96.
[7] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-Aliran/Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta : UI-Press, 1986), Cet. Ke-5, hal. 24.
[8] Ahmad Amin, Fajrul Islam, (Kairo : Maktabah An-Nahdah,1965) , hal 279
[9] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-Aliran/Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta : UI-Press, 1986), Cet. Ke-5, hal.26-28.
[10] Dr.Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Kalam, ( Jakarta: PT Bulan Bintang, 1997 ), Cet.ke-1, hal.21.
[11] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-Aliran/Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta : UI-Press, 1986), Cet. Ke-5, hal.33
[12] Dr.Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Kalam, PT Bulan Bintang, ( Jakarta: 1997 ), Cet.ke-1, hal.23-24

[13]Dr.Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Kalam, ( Jakarta: PT Bulan Bintang, 1997 ), Cet.ke-1, hal.25-27.

[14] Dr.Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Kalam, ( Jakarta: PT Bulan Bintang, 1997 ), Cet.ke-1, hal.98-99.

[15] Dr.Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Kalam, ( Jakarta: PT Bulan Bintang, 1997 ), Cet.ke-1, hal.101-109.

[16] Dr.Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Kalam, ( Jakarta: PT Bulan Bintang, 1997 ), Cet.ke-1, hal.111

[17] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-Aliran/Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta : UI-Press, 1986), Cet. Ke-5, hal.65

PERKEMBANGAN ASPEK TEOLOGI DALAM ISLAM


PERKEMBANGAN ASPEK TEOLOGI DALAM ISLAM

I.     PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang universal. Universalitas tersebut dapat dilihat dari mungkinnya Islam dipelajari dan didalami dari berbagai aspek. Selama ini kita hanya mengetahui Islam hanya dari sudut pandang fiqh saja. Bahkan tidak jarang diantara kita yang memandang bahwa dengan mempelajari fiqh berarti sudah mempelajari islam.
 Sebagai salah satu akibat dari mempelajari islam hanya dari satu atau dua aspek saja, dikhawatirkan pemahaman kita sebagai umat Islam menjadi parsial dan tidak komprehensif. Bila hal ini terakumulasi secara jangka panjang akan membuat citra Islam sebagai agama yang universal menjadi kabur dan semu.
 Aspek lain dalam Islam yang tidak kalah penting dan harus dipelajari oleh Umat Islam agar dapat memahami Islam secara komprehensif adalah aspek teologi. Prof. Dr. Harun Nasution menyebutkan bahwa aspek teologi ini merupakan aspek terpenting dan menjadi aspek dasar dalam Islam. Makalah ini akan sedikit mengupas tentang aspek teologi dalam Islam beikut perkembangannya.

II.      PEMBAHASAN
A.      PENGERTIAN TEOLOGI
Secara etimologi “Theologi “ terdiri dari kata “Theos“ artinya Tuhan, dan “Logos“  artinya Ilmu, sehingga dapat diartikan bahwa theologi adalah ilmu tentang Tuhan atau ilmu Ketuhanan.[1]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, teologi berarti pengetahuan ketuhanan (mengenai sifat Allah, dasar kepercayaan kepada Allah dan Agama, terutama berdasar pada kitab suci ). [2]
Prof. Dr. Harun Nasution, dalam bukunya Teologi Islam,  menyebutkan  bahwa teologi adalah ilmu yang membahas mengenai dasar-dasar agama. Dalam istilah arab, ajaran-ajaran dasar itu disebut ushul al-din, oleh karena itu buku yang membahas soal-soal teologi dalam Islam selalu diberi nama kitab Usul al-Din oleh para pengarangnya. Teologi dalam Islam disebut juga  Ilm Tauhid. Kata Tauhid mengandung arti satu atau  esa dan keesaan dalam pandangan islam, merupakan sifat terpenting diantara sifat-sifat Tuhan. Teologi dalam Islam disebut juga ilmu kalam, karena kaum teolog dalam Islam bersilat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing[3]
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat kita pahami bahwa teologi dalam islam adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang dasar-dasar agama Islam, keesaan Allah beserta sifat-sifatnya. Seorang muslim yang mempelajari teologi islam diharapkan akan memahami dasar-dasar islam secara lebih mendalam dan lebih mengerti tentang keesaan Allah beserta sifat-sifat-Nya.

B.  OBJEK KAJIAN TEOLOGI
Dalam perkembangannya, teologi juga berbicara tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan keimanan serta akibat-akibatnya, seperti masalah iman, kufur, musyrik, murtad; masalah kehidupan akhirat dengan berbagai kenikmatan atau penderitaannya; hal-hal yang membawa pada semakin tebal dan tipisnya iman; hal-hal yang berkaitan dengan kalamullah yakni Al-Qur’an, status orang-orang yang tidak beriman dan lain sebagainya.
Sejalan dengan perkembangan ruang lingkup ini, maka teologi sebagaimana telah disebutkan diatas juga dinamai ilmu tauhid, karena mengajak orang agar meyakini dan mempercayai hanya pada satu Tuhan, yaitu Allah SWT. Selanjutnya dinamai ilmu ushuludin, karena ilmu ini membahas pokok-pokok keagamaan yaitu keyakinan dan kepercayaan pada tuhan. Dinamai pula ilmu aqaid, karena dengan ilmu ini seseorang diharapkan agar meyakini dalam hatinya secara mendalam dan mengikatkan dirinya hanya kepada Allah sebagai Tuhan.[4]
C.  MADZHAB-MADZHAB TEOLOGI DAN KARAKTERISTIK MASING-MASING
1.    Khawarij
Golongan ini pada mulanya muncul bukan karena persoalan aqidah, melainkan persoalan politik dimana terjadi peperangan antara mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Ali bin Abi Thalib. Saat perang berkecamuk, seseorang mengangkat Al-qur’an dengan pedangnya untuk mengadakan tahkim (arbitrase) yaitu mengangkat seorang hakim yang bertujuan mengadakan perundingan untuk mengakhiri perang.
Sebagian orang dari barisan Ali menerima tahkim tersebut dan sebagian lainnya tidak, kemudian memilih keluar dari barisan karena kecewa karena Ali menerima tahkim tersebut. Kata Khawarij berasal dari bahasa Arab yang berarti keluar. Nama itu dberikan kepada mereka, karena mereka keluar dari barisan Ali.[5]
Dalam perkembangan selanjutnya, persoalan politik ini melebar ke arah persoalan aqidah dimana kaum khawarij meyakini hal-hal sebagai berikut :
a.    Bahwa Saidina Ali, Khalifah Ustman dan orang-orang yang melakukan tahkim, yakni Amr bin al-‘Ash dan Abu Musa al-Asy’ari adalah orang-orang kafir. Demikian juga orang yang menerima keputusan tahkim itu. Juga para peserta yang ikut dalam perang Jamal melawan Saidina Ali, seperti Siti Aisyah, Thalhah dan Zubeir.
b.    Semua orang muslim yang melakukan dosa besar adalah kafir yang kekal dalam neraka jika tidak bertobat sebelum mati.
c.    Wajib memisahkan diri dari khalifah atau sulthan yang zalim. Dan khalifah itu boleh dilantik dari orang yang bukan keturunan Quraisy.[6]



2.    Murji’ah
Seperti halnya kaum khawarij, golongan ini pada mulanya  muncul karena persoalan politik. Sebagaimana disebutkan tentang peristiwa tahkim  antara kelompok Mu’awiyah dan kelompok Ali, kelompok Ali terbelah dua, sebagian mendukung Ali yang kemudian memunculkan kelompok syi’ah dan sebagian menentangnya yang kemudian memunculkan kelompok Khawarij. Kedua kelompok ini sama-sama menentang dan mengkafirkan Mu’awiyah, hanya dengan motifnya yang berbeda.
Dalam suasana pertentangan serupa inilah, timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap netral tidak mau turut dalam praktek kafir-mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan itu. Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercaya dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya salah, dan memandang lebih baik menunda penyelesaian persoalan ini ke hari perhitungan di depan Tuhan.[7] Nama murji’ah sendiri berasal dari kata arja’a yang berarti menunda[8].
Pada umumnya kaum murjiah dapat dibagi dalam dua golongan besar, golongan moderat dan golongan ekstrim. Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali. Sedangkan golongan yang ekstrim berpendapat bahwa orang islam yang percaya pada Tuhan dan menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah mennjadi kafir, karena iman dan kafir tempatnya hanya dalam hati, bukan dalam bagian yang lain dari tubuh manusia.[9]


3.    Jabariyah
Paham ini diajarkan dan dikembangkan oleh Jaham bin Safwan yang memperoleh banyak pengikut, sehingga ajaran ini juga dikenal dengan madzhab Jahamiyah. Golongan ini menganut paham bahwa manusia tidak mempunyai ikhtiar atau pilihan dan kebebasan dalam menentukan nasib dan perbuatannya dalam kehidupan di dunia ini. Segala sesuatu telah digariskan Allah atasnya sejak zaman azali.[10]
Nama Jabariyah berasal dari kata jabara  yang mengadung arti memaksa. Dalam istilah inggris paham ini disebut fatalism atau predestination. Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh kada dan kadar Tuhan.[11]
Adapun pendapat yang lain dari golongan ini antara lain :
a.    Pengggunaan takwil, artinya Allah tidak dapat disifati dengan sifat-sifat makhluk. Dan karena itu ia menakwilkan sifat-sifat Allah yang ada persamaannya dengan sifat manusia.
b.    Surga dan neraka tidak kekal, akan datang suatu masa yang padanya surga dan neraka akan fana dengan segala isinya dan yang tinggal kekal hanya Allah saja. Selain dari Allah, semuanya akan binasa.
c.    Iman, Iman itu adalah makrifah atau pengakuan hati saja akan wujud Allah dan kerasulan Muhammad SAW, Ucapan lisan dan perbuatan anggota badan yang lain tidak termasuk dalam iman.
d.    Makrifat iman itu wajib berdasarkan akal sebelum turunnya wahyu dan kedatangan rasul.[12]

4.    Qadariyah
Pemuka mazhab ini adalah Ghailan al-Dimasqi, Golongan ini disebut Qadariyah adalah karena pendapatnya tentang kedudukan manusia diatas bumi. Golongan ini mengatakan bahwa manusia mempunyai iradah yang bebas dan kuasa  penuh dalam menentukan amal perbuatan yang dilakukan dan karenanya ia bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan. Jika amalnya baik, balasannya juga baik, dan jika buruk, maka balasannya juga buruk. Artinya nasib manusia ditentukan oleh manusia sendiri dan Tuhan tidak ada kuasa campur tangan dalam hal tersebut.
Selain hal tersebut diatas, golongan ini juga mengatakan hal-hal sebagai berikut :
a.    Menafikan sifat-sifat Allah, karena menurutnya sifat itu identik dengan dzat, bukan sesuatu yang berbeda dengan dzat.
b.    Menafikan bahwa al-Qur’an itu qadim
c.    Tentang politik, khalifah atau imam boleh dilantik dari selain kaum quraisy.[13]

5.    Mu’tazilah
Penulis Islam klasik, seperti syarastani, al-baghdadi, ar-Razi, ibn Khilikan dan lain-lain menyatakan bahwa golongan mu’tazilah lahir dari majlis pengajian Hasan al-bashri di Bashrah. Beliau ini seorang pemuka tabiin yang terkenal dan merupakan seorang imam dan guru yang mengajar agama di Masjid Agung Bashrah pada waktu itu. Nama mu’tazilah diberikan pertama kali pada Washil bin ‘Ata pada saat terjadi dialog tentang nasib orang mukmin yang melakukan dosa besar, apakah masuk neraka atau tetap dalam surga.[14]
Golongan ini mempunyai lima ajaran, yang terkenal dengan istilah lima prinsip (أصول الخمسة), yaitu :
a.    Tauhid (Keesaan Tuhan), yakni pengakuan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, seperti yang telah digariskan dalam kalimah tauhid.
b.    Al-‘Adlu (keadilan Tuhan), yakni Allah wajib membalas orang mukmin yang taqwa dengan memasukkan mereka ke dalam surga dan wajib memasukkan orang kafir ke dalam neraka.
c.    Al-Manzilah bain al-Manzilatain (suatu tempat antara dua tempat), yakni pelaku dosa besar bukan orang mukmin yang mutlak dan juga bukan orang kafir yang mutlak.
d.   Al-Wa’du wa al-wa’id (janji baik dan janji buruk), yakni Allah wajib memberikan pahala kepada orang mukmin yang taat dan memberikan balasan siksa kepada orang mukmin yang durhaka. Golongan mu’tazilah menolak adanya syafaat yang diberikan kepada orang mukmin yang durhaka.
e.    Amar makruf dan nahi munkar, yakni menyuruh yang makruf dan melarang yang mungkar.[15]

6.    Ahli Sunnah Dan Jama’ah
Yang dimaksud dengan al-sunnah (السنة) ialah :
1.      Jalan. Artinya Ahlussunnah (أهل السنة ) adalah golongan yang mengikuti jalan para sahabat dan tabiin dalam masalah yang berkaitan dengan akidah, seperti bersikap “ menyerahkan makna atau maksud ayat-ayat mutasyabihat ( متشابهات ) kepada Allah tanpa menakwilkan kepada makna atau maksud lain dari pengertian lahirnya”.
2.      Hadis Nabi. Yakni golongan yang berpegang kepada hadis yang sahih.
Sedangkan yang dimaksud dengan jamaah (جماعة )yang dikaitkan dengan sunah adalah karena mereka dalam berdalil dan berhujah mempergunakan Kitab Allah, Sunah Rasul, ijma (إجماع) dan qias (قياس ). Mereka memandang empat landasan ini sebagai asas syariat Islam.[16]

Sunnah dalam term ini berarti Hadis. Sebagai diterangkan Ahmad Amin, Ahli Sunnah dan Jama’ah, berlainan dengan kaum Mu’tazilah percaya pada dan menerima hadis-hadis sahih tanpa memilih dan tanpa interpretasi. Dan Jama’ah berarti mayoritas sesuai dengan tafsiran yang diberikan Sadr al-Syari’ah al-Mahbubi yaitu ‘ammah al- muslimin (umumnya umat Islam) dan al-jama’ah al kasir wa al sawad al-a’zam (jumlah besar dan khalayak ramai).[17]
Mazhab Ahlussunnah wal Jamaah mendapat pengaruh besar dalam kalangan umat Islam setelah Abu Hasan al-Asy’ari bergabung dengannya.Sebelum itu beliau adalah penganut Mazhab Mu’tazilah dan murid Abu Ali al-Jabaiy, seorang pemuka Mu’tazilah yang terkenal pada waktu itu. Banyak riwayat yang menyebutkan sebab keluarnya dari paham Mu’tazilah dan yang paling masyhur adalah karena suatu diskusi yang terjadi dengan gurunya dan al-Asy’ari tidak merasa puas dengan jawaban gurunya. Sejak saat itu al-Asy’ari menyatakan keluar dari golongan Mu’tazilah dan mendirikan aliran baru yang identik dengan namanya yaitu al-Asy’ari yang sekarang kita kenal dengan aliran Ahlussunah wal Jamaah.
      Aliran Asy’ariyah cepat berkembang pada masa pemerintahan Nizhom al-Mulk, sedangkan aliran mu’tazilah mengalami kemunduran. Dengan demikian paham-paham Asy’ariyah mulai tersebar luas bukan di daerah kekuasaan saljuk saja, tetapi di dunia Islam lainnya.


[1] A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1980 ) , Cet. Ke- 2 hal.11
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia,  (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), cet. keempat
[3] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-Aliran/Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta : UI-Press, 1986), Cet. Ke-5, hal.ix.
[4] Dr. H. Abudin Nata, MA., (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000) Metodologi Studi Islam, Hal. 221
[5] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-Aliran/Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta : UI-Press, 1986), Cet. Ke-5, hal.13
[6] Dr.Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Kalam, ( Jakarta: PT Bulan Bintang, 1997 ), Cet.ke-1, hal.96.
[7] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-Aliran/Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta : UI-Press, 1986), Cet. Ke-5, hal. 24.
[8] Ahmad Amin, Fajrul Islam, (Kairo : Maktabah An-Nahdah,1965) , hal 279
[9] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-Aliran/Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta : UI-Press, 1986), Cet. Ke-5, hal.26-28.
[10] Dr.Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Kalam, ( Jakarta: PT Bulan Bintang, 1997 ), Cet.ke-1, hal.21.
[11] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-Aliran/Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta : UI-Press, 1986), Cet. Ke-5, hal.33
[12] Dr.Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Kalam, PT Bulan Bintang, ( Jakarta: 1997 ), Cet.ke-1, hal.23-24

[13]Dr.Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Kalam, ( Jakarta: PT Bulan Bintang, 1997 ), Cet.ke-1, hal.25-27.

[14] Dr.Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Kalam, ( Jakarta: PT Bulan Bintang, 1997 ), Cet.ke-1, hal.98-99.

[15] Dr.Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Kalam, ( Jakarta: PT Bulan Bintang, 1997 ), Cet.ke-1, hal.101-109.

[16] Dr.Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Kalam, ( Jakarta: PT Bulan Bintang, 1997 ), Cet.ke-1, hal.111

[17] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-Aliran/Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta : UI-Press, 1986), Cet. Ke-5, hal.65